AmalanAqidah

Syarhus Sunnah: Menjalankan Kewajiban dan Amalan Sunnah

Setelah menjelaskan masalah akidah, Imam Al-Muzani Asy-Syafii menutup dengan penjelasan berbagai amalan wajib dan amalan sunnah yang mesti dilakukan oleh seorang muslim.

 

Imam Al-Muzani rahimahullah berkata,

فَهذَا “شَرْحُ السُّنَّةِ” , تَحَرَّيْتُ كَشْفَهَا وَأَوْضَحْتُهَا , فَمَنْ وَفَّقَهُ اللهُ لِلْقِيَامِ بِمَا أبَنْتُهُ مَعَ مَعُوْنَتِهِ لَهُ بِالْقِيَامِ عَلَى أَدَاءِ فَرَائِضِهِ بِالْاِحْتِيَاطِ فِي النَّجَاسَاتِ , وَإِسْبِاغِ الطَّهَارَةِ عَلَى الطَّاعَاتِ وَأَدَاءِ الصَّلَوَاتِ عَلَى اْلاِسْتِطَاعَاتِ , وَإِيْتَاءِ الزَّكاَةِ عَلَى أَهْلِ الْجِدَاتِ وَالْحَجِّ عَلَى أَهْلِ اْلجَدَةِ وَاْلاِسْتِطَاعَاتِ , وَصِيَامِ الشَّهْرِ لِأَهْلِ الصِّحَّاتِ , وَخَمْسِ صَلَوَاتٍ سَنَّهَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : صَلاَةِ الْوِتْرِ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ  , وَرَكْعَتَا الْفَجْرِ , وَصَلاَةِ اْلفِطْرِ وَالنَّحْرِ , وَصَلاَةِ كُسُوْفِ الشَّمْسِ وَالْقَمَرِ إِذَا نَزَلَ , وَصَلاَةِ اْلاِسْتِسْقَاءِ مَتَى وَجَبَ

“Ini adalah kitab Syarhus Sunnah. Aku pilih dalam menyingkap (maknanya) dan menjelaskannya. Barangsiapa yang Allah beri taufik untuk menegakkan apa yang aku jelaskan, dengan pertolongan-Nya untuk menegakkan kewajiban-kewajiban, dan berhati-hati terhadap najis, menyempurnakan thaharah (bersuci) ketika melakukan ketaatan, menunaikan shalat sesuai kemampuan, menunaikan zakat bagi yang kaya, berhaji bagi yang mampu, berpuasa Ramadan bagi orang yang sehat, dan melaksanakan lima shalat yang disunnahkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu:  shalat witir setiap malamnya, dua rakaat shalat sunnah Fajar (qabliyah Shubuh), shalat Idulfitri dan Iduladha, shalat gerhana matahari dan bulan jika terjadi, shalat istisqa’ ketika dibutuhkan.”

Dimotivasi untuk beramal saleh dan berakhlak yang mulia

Di akhir bahasan akidah dari Imam Al-Muzani, setelah itu beliau menyebutkan sejumlah amalan saleh dan akhlak yang mulia. Beliau memperingatkan pula akan keharaman dan dosa. Ini adalah buah akidah yang harus ada. Demikian kata Syaikh ‘Abdur Razzaq dalam ta’liqahnya, hlm. 132.

 

Amalan saleh dan akhlak yang disebutkan oleh Imam Al-Muzani

Pertama: Hati-hati terhadap najis.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تَنَزَّهُوا مِنَ الْبَوْلِ فَإِنَّ عَامَّةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ

Bersihkanlah diri dari kencing karena umumnya siksa kubur disebabkan oleh kencing.” (HR. Ad-Daruquthni, 1:128)

Diriwayatkan oleh Al-Hakim,

أَكْثَرُ عَذَابِ اَلْقَبْرِ مِنْ اَلْبَوْلِ

“Kebanyakan siksa kubur itu disebabkan (tidak membersihkan) kencing.” HR. Ahmad, 15:12; Ad-Daruquthni, 1:128; Al-Hakim, 1:183, hadits ini sanadnya sahih).

Kedua: Menyempurnakan thaharah (bersuci) ketika melakukan ketaatan

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

(( ألا أدُلُّكُمْ عَلَى مَا يَمْحُو اللهُ بِهِ الخَطَايَا ، وَيَرْفَعُ بِهِ الدَّرَجَاتِ ؟ )) قَالُوا : بَلَى يا رَسُول اللهِ ؟ قَالَ : (( إسْبَاغُ الوُضُوءِ عَلَى المَكَارِهِ ، وَكَثْرَةُ الخُطَا إلَى المَسَاجِدِ ، وَانْتِظَارُ الصَّلاَةِ بَعْدَ الصَّلاَةِ ، فَذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ، فذَلِكُمُ الرِّبَاطُ ))

Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang dengannya Allah menghapus dosa-dosa dan mengangkat derajat?” Para sahabat berkata, “Tentu, wahai Rasulullah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Menyempurnakan wudhu pada saat-saat yang tidak disukai, banyak melangkah ke masjid, dan menunggu shalat setelah shalat. Itulah yang namanya ribath (mencurahkan diri dalam ketaatan), itulah yang namanya ribath.” (HR. Muslim, no. 251)

Ketiga: Menunaikan shalat lima waktu

Allah Ta’ala berfirman,

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyuk.” (QS. Al-Baqarah: 238). Shalat wustha adalah shalat ‘Ashar.

Keempat: Shalat sesuai kemampuan

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Imran bin Al-Hushain,

صَلِّ قَائِمًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا ، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ

Shalatlah dalam keadaan berdiri. Jika tidak mampu, kerjakanlah dalam keadaan duduk. Jika tidak mampu lagi, kerjakanlah dengan tidur menyamping.” (HR. Bukhari, no. 1117)

Kelima: Menunaikan zakat untuk orang yang kaya (ahlil jadaat)

Zakat ditunaikan oleh orang kaya yang hartanya sudah mencapai nishab.

Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz ke Yaman disebutkan dalam hadits Ibnu ‘Abbas, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ زَكَاةً فِى أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ غَنِيِّهِمْ فَتُرَدُّ عَلَى فَقِيرِهِمْ

Allah juga telah mewajibkan bagi mereka zakat dari harta mereka, yaitu diambil dari orang-orang kaya di antara mereka dan disalurkan untuk orang-orang fakir di tengah-tengah mereka.” (HR. Bukhari, no. 7372; Muslim, no. 19).

Keenam: Berhaji bagi yang mampu

Allah Ta’ala berfirman,

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنِ الْعَالَمِينَ

Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 97)

Ketujuh: Berpuasa bagi yang sehat di bulan Ramadhan

Allah Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 183)

أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۚ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ ۖ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ ۚ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 184)

 

Kedelapan: Menjalankan lima shalat yang dianjurkan (muakkad)

  1. Shalat witir setiap malam
  2. Shalat sunnah Fajar (qabliyah Shubuh) dua rakaat
  3. Shalat Idulfitri dan Iduladha
  4. Shalat gerhana matahari dan bulan ketika muncul
  5. Shalat istisqa’ ketika dibutuhkan

 

Shalat witir setiap malam

Dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

الوِتْرُ لَيْسَ بِحَتْمٍ كَصَلاَةِ المَكْتُوبَةِ ، وَلَكِنْ سَنَّ رَسُوْلُ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، قَالَ : (( إِنَّ اللهَ وِتْرٌ يُحِبُّ الوِتْرَ ، فَأَوْتِرُوا يَا أَهْلَ القُرْآنِ ))

Shalat witir tidaklah seperti shalat wajib. Namun demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyunnahkannya. Beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Allah itu witir dan mencintai yang witir, maka lakukanlah witir, wahai Ahli Al-Qur’an.’” (HR. Abu Daud, no. 1416; Tirmidzi, no. 453; Ahmad, 1:143. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini kuat. Syaikh Al-Albani dalam takhrij Misykah Al-Mashabih mengatakan bahwa hadits ini hasan. Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan, hadits ini memiliki berbagai syawahid atau penguat).

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّكُمْ خَافَ أَنْ لاَ يَقُومَ مِنْ آخِرِ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ ثُمَّ لْيَرْقُدْ وَمَنْ وَثِقَ بِقِيَامٍ مِنَ اللَّيْلِ فَلْيُوتِرْ مِنْ آخِرِهِ فَإِنَّ قِرَاءَةَ آخِرِ اللَّيْلِ مَحْضُورَةٌ وَذَلِكَ أَفْضَلُ

Siapa di antara kalian yang khawatir tidak bisa bangun di akhir malam, hendaklah ia mengerjakan witir, baru kemudian tidur. Dan siapa yang yakin akan terbangun di akhir malam, hendaklah ia mengerjakan witir di akhir malam karena bacaan di akhir malam dihadiri (oleh para Malaikat) dan itu tentu lebih utama.” (HR. Muslim, no. 755)

Dari Abu Qatadah, ia berkata,

أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ لأَبِى بَكْرٍ « مَتَى تُوتِرُ » قَالَ أُوتِرُ مِنْ أَوَّلِ اللَّيْلِ. وَقَالَ لِعُمَرَ « مَتَى تُوتِرُ ». قَالَ آخِرَ اللَّيْلِ. فَقَالَ لأَبِى بَكْرٍ « أَخَذَ هَذَا بِالْحَزْمِ ». وَقَالَ لِعُمَرَ « أَخَذَ هَذَا بِالْقُوَّةِ ».

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada Abu Bakar, ”Kapankah kamu melaksanakan witir?” Abu Bakr menjawab, “Saya melakukan witir di permulaan malam”. Beliau bertanya kepada Umar, “Kapankah kamu melaksanakan witir?” Umar menjawab, “Saya melakukan witir pada akhir malam”. Kemudian beliau berkata kepada Abu Bakar, “Orang ini melakukan dengan penuh hati-hati.” Kepada Umar beliau mengatakan, “Sedangkan orang ini begitu kuat.” (HR. Abu Daud, no. 1434 dan Ahmad, 3:309. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

 

Shalat sunnah Fajar (qabliyah Shubuh) dua rakaat

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

Dua rakaat fajar (shalat sunnah qabliyah shubuh) lebih baik daripada dunia dan seisinya.” (HR. Muslim, no. 725).

 

Shalat Idulfitri dan Iduladha

Dari Ummu ‘Athiyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

أَمَرَنَا – تَعْنِى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- – أَنْ نُخْرِجَ فِى الْعِيدَيْنِ الْعَوَاتِقَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ وَأَمَرَ الْحُيَّضَ أَنْ يَعْتَزِلْنَ مُصَلَّى الْمُسْلِمِينَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami pada saat shalat id (Idulfitri ataupun Iduladha) agar mengeluarkan para gadis (yang baru beanjak dewasa) dan wanita yang dipingit, begitu pula wanita yang sedang haidh. Namun, beliau memerintahkan pada wanita yang sedang haidh untuk menjauhi tempat shalat.” (HR. Muslim, no. 890)

 

Shalat gerhana matahari dan bulan ketika muncul

Dari Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ

Matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat keduanya, berdoalah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut hilang (berakhir).” (HR. Bukhari, no. 1060 dan Muslim, no. 904)

 

Shalat istisqa (minta hujan) ketika dibutuhkan

Dari Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِلَى الْمُصَلَّى وَاسْتَسْقَى وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ حِينَ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ. قَالَ إِسْحَاقُ فِى حَدِيثِهِ وَبَدَأَ بِالصَّلاَةِ قَبْلَ الْخُطْبَةِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ فَدَعَا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar ke tanah lapang dan beliau hendak melaksanakan istisqo’ (meminta hujan). Beliau pun merubah posisi rida’nya (yang semula di kanan dipindah ke kiri dan sebaliknya) ketika beliau menghadap kiblat. (Ishaq mengatakan), “Beliau memulai mengerjakan shalat sebelum berkhutbah kemudian beliau menghadap kiblat dan berdoa.” (HR. Ahmad, 4:41. Syaikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih sesuai syarat Bukhari-Muslim).

 

Cara minta hujan secara umum

  1. Yang paling rendah adalah dengan berdoa di waktu kapan pun yang disukai.
  2. Yang pertengahan adalah doa pada ruku’ terakhir pada shalat lima waktu atau di setiap akhir shalat.
  3. Yang paling sempurna dengan shalat istisqa (shalat minta hujan). (Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:244)

 

Langkah awal sebelum shalat Istisqa’

  1. Bertaubat nashuha (bertaubah dengan sungguh-sungguh).
  2. Mengeluarkan sedekah untuk orang miskin dan melepaskan diri dari kezaliman, juga memperbaiki hubungan yang sedang retak.
  3. Berpuasa selama empat hari berturut-turut.

Tiga hal di atas dilakukan karena lebih memudahkan terkabulnya doa berdasarkan hadits-hadits yang shahih. (Al-Fiqh Al-Manhaji, 1:244-245)

 

Referensi:

  1. Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i. Syaikh Dr. Musthafa Al-Khin, Suyaikh Dr. Musthafa Al-Bugha, Syaikh ‘Ali Asy-Syabaji. Penerbit Darul Qalam.
  2. Syarh As-Sunnah. Cetakan kedua, Tahun 1432 H. Imam Al-Muzani. Ta’liq: Dr. Jamal ‘Azzun. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.
  3. Ta’liqah ‘ala Syarh As-Sunnah li Al-Imam Al-Muzani. Syaikh ‘Abdur Razzaq bin ‘Abdul Muhsin Al-Badr.

 

Diselesaikan di @ Darush Sholihin, 27 Februari 2021 (15 Rajab 1442 H)

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumasyho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button