Aqidah

Mendapat Hadiah Kue Natal

Kita sudah mengetahui bagaimana sikap Islam ketika umat Nashrani merayakan natal. Seorang muslim tidak boleh menghadirinya, tidak boleh memberi ucapan selamat dan tidak boleh mendukung dalam hal apa pun dalam perayaan tersebut. Lantas bagaimana jika tetangga atau rekan kerja kita memberi kue, makanan atau hadiah yang berhubungan dengan perayaan natal? Apakah boleh kita terima dan menikmatinya?

Komisi Fatwa di Kerajaan Saudi Arabia, Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ ditanya, “Bolehkah seorang muslim memakan makanan dari perayaan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) ata dari perayaan orang musyrik di hari raya mereka atau menerima pemberian yang berhubungan dengan hari raya mereka?

Jawaban para ulama Lajnah, “Tidak boleh seorang muslim memakan makanan yang dibuat oleh orang Yahudi dan Nashrani atau orang musyrik yang berhubungan dengan hari raya mereka. Begitu pula seorang muslim tidak boleh menerima hadiah yang berhubungan dengan perayaan tersebut. Karena jika kita menerima pemberian yang berhubungan dengan hari raya mereka, itu termasuk bentuk memuliakan dan menolong dalam menyebarluaskan syi’ar agama mereka. Hal itu pun termasuk mempromosikan ajaran mereka yang mengada-ada (baca: bid’ah) dan turut gembira dalam perayaan mereka. Seperti itu pun dapat dianggap menjadikan perayaan mereka menjadi perayaan kaum muslimin. Boleh jadi awalnya mereka ingin mengundang kita, namun diganti dengan yang lebih ringan yaitu dengan memberi makanan atau hadiah saat mereka berhari raya. Ini termasuk musibah dan ajaran agama yang mengada-ada (baca: bid’ah). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ

Barangsiapa yang mengada-adakan amalan baru yang bukan ajaran dari kami, maka amalannya tertolak” (HR. Bukhari dan Muslim). Sebagaimana pula tidak boleh bagi seorang muslim memberi hadiah kepada non muslim yang berhubungan dengan perayaan mereka.

[Fatwa Al Lajnah Ad Daimah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’ no. 2882, pertanyaan kedua, 22: 398-399, ditanda tangani oleh Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz selaku ketua, Syaikh ‘Abdurrozaq ‘Afifi selaku wakil ketua dan Syaikh ‘Abdullah bin Qu’ud selaku anggota]

Yang berkata terlarangnya menerima hadiah dan kue natal, bukanlah kami. Coba perhatikan, kami hanya menukil fatwa para ulama yang lebih berilmu dari kami dan lebih paham yang terbaik bagi umatnya ketika mereka mengeluarkan fatwa. Namun asal hadiah dan makanan ahli kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah halal, yang bermasalah adalah jika ada kaitan dengan perayaan mereka dengan tujuan untuk memuliakan hari raya mereka.

Hidayah hanyalah dari Allah, kami hanyalah menyampaikan. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

 

@ Ummul Hamam, Riyadh KSA, 1 Shafar 1433 H

www.rumaysho.com

Baca Juga:

Artikel yang Terkait

12 Komentar

  1. Assalamualaikum, saya tinggal bersama org tua dilingkungan yang mayoritas tionghoa. Setiap ada perayaan imlek ada beberapa tetangga yang memberikan makanan, lalu apa yang saya dan keluarga harus lakukan terhadap makanan itu jika diketahui hukumnya haram?

  2. Bagaimana ustad, dengan makana dari acara tahlilan atau acara bid’ah lain dr kaum muslimin ? Apakah d hukumi sma.

  3. Hukum Menerima Hadiah Natal

    Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah

    Pertama, Islam membolehkan umatnya untuk menerima
    hadiah dari orang kafir. Apalagi jika tujuannya dalam rangka mengambil
    hati mereka dan memotivasi mereka untuk simpati pada Islam. Sebagaimana
    Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima hadiah dari
    beberapa raja kafir, seperti beliau pernah menerima hadiah dari
    Muqauqis, raja mesir yang beragama nasrani.

    Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari menyatakan, Bab bolehnya menerima
    hadiah dari orang musyrik. Kemudian beliau membawakan hadis dari Abu
    Hurairah radhiallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ibrahim ‘alaihis salam
    pernah berhijrah bersama istrinya Sarah. Kemudian keduanya melewati
    sebuah kampung yang dipimpin oleh raja yang zalim. Dan raja ini memberi
    hadiah Hajar kepada Sarah.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
    juga diberi hadiah kambing oleh orang Yahudi, yang ada racunnya. Abu
    Humaid mengatakan, Raja Ailah memberikan hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bighal (peranakan kuda dengan keledai) berwarna putih dan dia juga memberi pakaian. (Shahih Bukhari, sebelum hadis 2615)

    Kedua, pendapat yang tepat tentang menerima hadiah dari orang kafir ketika natal hukumnya boleh, dengan beberapa syarat.
    Menerima hadiah dari orang kafir di hari raya mereka, tidak dianggap
    sebagai bentuk setuju dan ikut andil dalam hari raya mereka. Bahkan
    perbuatan ini termasuk amal baik, apalagi jika tujuannya adalah untuk
    mengambil hati dan memberi kesan yang baik tentang Islam. Allah Ta’ala membolehkan untuk berbuat baik kepada orang kafir yang tidak memerangi kaum muslilmin. Allah berfirman,

    لا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ
    يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ
    تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ
    الْمُقْسِطِينَ

    “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
    terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak
    (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai
    orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanan: 8)

    Hanya saja perlu dipahami, berbuat baik pada orang kafir sama sekali
    tidak sama dengan menyintai dan loyal kepada mereka. Karena kita tidak
    boleh menyintai dan loyal kepada orang kafir. Allah berfirman,

    لا تَجِدُ قَوْماً يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
    الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا
    آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ
    أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الأِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ
    وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ

    “Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari
    akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah
    dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak
    atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang
    yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka
    dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. Dan dimasukan-Nya mereka ke
    dalam surga …”

    Demikian juga, Allah melarang kita untuk menjadikan orang kafir sebagai ‘bithanah‘ [Arab: بِطَانَةً], yang artinya teman dekat, sehingga menjadi tempat curhat. Allah berfirman,

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً
    مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ
    بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ
    أَكْبَرُ

    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman
    kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka
    tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai
    apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan
    apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi.” (QS. Ali Imran: 118)

    Syaikhul Islam mengatakan, “Menerima hadiah orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau menerimanya.”

    Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha,
    Kami memiliki seorang ibu susu beragama majusi. Ketika hari raya,
    mereka memberi hadiah kepada kami. Kemudian Aisyah menjelaskan, “Jika
    itu berupa hewan sembelihan hari raya maka jangan dimakan, tapi makanlah
    buah-buahannya.”

    Dari Abu barzah, bahwa beliau memiliki sebuah rumah yang dikontrak
    orang majusi. Ketika hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka memberi
    hadiah. Kemudian Abu Barzah berpesan kepada keluarganya, “Jika berupa
    buah-buahan, makanlah. Selain itu, kembalikan.”

    Semua riwayat ini menunjukkan bahwa ketika hari orang kafir, tidak
    ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Akan tetapi, hukum
    menerima ketika hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama
    saja. Karena menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka dalam
    menyebar syiar agama mereka. (Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, 2:5)

    Dengan demikian, dibolehkan menerima hadiah dari orang nasrani ketika
    natal dengan persyaratan berikut:1. Hadiah tersebut bukan berupa daging
    hewan yang disembelih untuk acara natal2. Hadiah tersebut bukan
    termasuk benda yang menjadi ciri khas mereka, seperti topi santaklaus3.
    Ketika menerima hadiah, dia menjelaskan kepada keluarganya tentang sikap
    yang dia lakukan 4. Tujuan menerima hadiah adalah dalam rangka
    mengambil hati dan mencari simpati mereka terhadap islam, bukan karena
    mencintai dan mendukung hari raya mereka.
    Bagaimana jika kita diberi hadiah yang tidak boleh diterima? Kita harus
    menolaknya sambil menjelaskan alasannya, mengapa hadiah ini ditolak.
    Sampaikan dengan bahasa santun, dan tidak menyinggung perasaan. Dengan
    ini, orang tersebut akan menghargai keadaan kita. Misalnya: mohon maaf,
    bukan karena saya membenci (Anda), tapi karena agama kami melarangnya,
    atau kalimat semacamnya. Terakhir, selayaknya seorang muslim harus
    merasa bangga dengan agamanya dan berusaha menerapkan semua aturannya.
    Jangalah dia beralasan dengan rasa malu, ‘pekewoh’, dst. untuk
    melampiaskan bentuk toleransi beragama yang berlebihan

    Disadur dari: http://www.islamqa.com/ar/ref/85108

    Disusun oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
    Artikel http://www.KonsultasiSyariah.com

    1. menurut saya kita menerima pemberian/hadiah dari orang kafir karena toleransi hukumnya syirik.karena kt lebih menjaga perasaan mereka dari pada takut akan murka ALLAH.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Prove your humanity: 7   +   3   =  

Back to top button