Aqidah

Tsalatsatul Ushul: Ilmu, Amal, Dakwah, dan Sabar

 

Penting untuk berilmu, beramal, berdakwah, dan bersabar. Ini yang dibahas lagi dalam kitab Tsalatsatul Ushul karya Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab. Penjelasan lengkapnya dalam tulisan berikut ini.

 

Pertemuan #05

Akidah

ILMU, AMAL, DAKWAH, DAN SABAR

 

Empat hal yang harus dimiliki oleh setiap muslim yaitu berilmu, beramal, berdakwah, dan bersabar.

Berikut perkataan dari Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah dalam risalah beliau Tsalatsatul Ushul.

بِسْمِ الله الرَّحْمَن الرَّحِيم

اِعْلَمْ -رَحِمَكَ اللهُ- أَنَّهُ يَجِبُ عَلَيْنَا تَعَلُّمُ أَرْبَعِ مَسَائِلَ؛ الأُوْلَى: العِلْمُ؛ وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، وَمَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ، وَمَعْرِفَةُ دِيْنِ الإِسْلاَمِ بِالأَدِلَّةِ. الثَّانِيَةُ: العَمَلُ بِهِ. الثَّالِثَةُ: الدَّعْوَةُ إِلَيْهِْ. الرَّابِعَةُ: الصَّبْرُ عَلَى الأَذَى فِيْهِ.

وَالدَّلِيْلُ قَوْلُهُ تَعَالَى: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ وَالْعَصْرِ(1) إِنَّ الْإِنسَانَ لَفِي خُسْرٍ(2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ(3)

Ketahuilah—semoga Allah memberikan rahmat untukmu—bahwasanya wajib bagi setiap muslim mempelajari empat hal:

  1. Berilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal nabi-Nya, dan mengenal Islam dengan dalil.
  2. Beramal dengan ilmu tadi.
  3. Berdakwah dengan ilmu.
  4. Bersabar terhadap gangguan di dalamnya.

Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya mentaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al-‘Ashr: 1-3)

 

Muqaddimah dengan Basmalah dan Doa

 

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah memulai risalah beliau Tsalatsatul Ushul dengan bacaan basmalah. Kenapa demikian? Di sini ada tiga sebab:

  1. Mengikuti Kitabullah dan kebiasaan para Nabi ‘alaihimus salam.
  2. Mengikuti ulama sebelumnya dan kebiasaan para salaf dalam menulis buku atau kitab, mereka biasa memulai dengan basmalah.
  3. Untuk tabarruk atau mengambil berkah dengan menyebut nama Allah.

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab rahimahullah juga memulai bahasan-bahasannya dalam kitab ini dengan doa seperti “semoga Allah memberikan rahmat untukmu”. Hal ini menunjukkan:

  1. Kasih sayang para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah kepada murid-muridnya.
  2. Agama Islam itu dibangun di atas rahmat.

 

Arti Basmalah

 

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَن الرَّحِيم

 

Arti “بِسْمِ اللهِ”: dengan nama Allah (aku menulis kitab ini).

Arti lafaz jalalah “اللهِ”: di antara nama Allah yang khusus bagi Allah, yang punya arti “al-ma’luh” yaitu Dzat yang disembah dengan penuh kecintaan dan keagungan.

Arti “الرَّحْمَن”: termasuk nama Allah yang khusus bagi-Nya, yang punya arti Yang Maha memberikan rahmat yang luas.

Arti “الرَّحِيم”: termasuk di antara nama Allah, yang punya arti Yang menyampaikan rahmat kepada siapa saja yang dikehendaki.

 

Wajib Ta’allum, Mencari Ilmu

 

Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab berkata bahwa wajib mempelajari empat perkara. Beliau istilahkan dengan ta’allum.

Apa maksud ta’allum?

Ta’allum adalah mencari ilmu. Ilmu itu sendiri adalah mengenal petunjuk dengan dalil. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu syar’i.

Yang dimaksud dengan wajib dipelajari berarti adalah ilmu yang fardhu ‘ain seperti mengenal rukun iman, rukun Islam, mengenal yang haram untuk dijauhi, dan ilmu yang dibutuhkan untuk muamalah. Intinya, yang dimaksud dengan yang wajib adalah sesuai kaidah,

لاَ يَتِمُّ الوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ عَلَيْهِ العِلْمُ بِهِ

“Sesuatu yang tidak sempurna yang wajib kecuali dengan mempelajarinya, maka wajib untuk belajar tentangnya.”

Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Wajib bagi kita menuntut ilmu supaya bisa menjalankan agama dengan baik.” Beliau lantas ditanya, “Semisal ilmu apa yang wajib dipelajari?” Jawab beliau, “Ilmu yang wajib dipelajari adalah ilmu yang tidak boleh kita bodoh di dalamnya, yaitu ilmu tentang shalat, puasa, dan semacamnya.” (Al-Furu’ karya Ibnu Muflih, 1:525).

Maksud Imam Ahmad adalah ilmu yang wajib dipelajari yaitu ilmu yang jika kita tidak mempelajarinya akan meninggalkan kewajiban atau terjatuh dalam yang haram.

Dalil yang menunjukkan wajib menuntut ilmu adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu disebutkan,

طَلَبُ العِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ ، وَإِنَّ طَالِبَ العِلْمِ يَسْتَغْفِرُ لَهُ كُلُّ شَيْءٍ ، حَتَّى الحِيْتَانِ فِي البَحْرِ

Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim. Sesungguhnya penuntut ilmu akan dimintakan ampunan oleh segala sesuatu sampai pada ikan di lautan.” (HR. Ibnu Majah, Abu Ya’la dalam musnadnya, Ath-Thabrani dalam Al-Ausath. Syaikh Al-Albani menyebutkan dalam Shahih Al-Jami’, no. 3914 bahwa hadits ini sahih).

 

Ilmu itu Mengenal Allah, Mengenal Nabinya, dan Mengenal Islam dengan Dalil

 

Tiga hal ini adalah ushulul islam (pokok agama Islam). Karena tiga hal ini akan ditanyakan di alam kubur, maka wajib dipelajari. Ketiga hal inilah yang akan dirinci dalam bahasan Tsalatsatul Ushul.

 

Mengamalkan Ilmu

 

Ilmu dicari dengan tujuan untuk diamalkan. Manfaat mengamalkan ilmu disebutkan dalam ayat,

وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآَتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ

Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya. ” (QS. Muhammad: 17)

Para ulama berkata,

مَنْ عَمِلَ بِما عَلِمَ أَوْرَثَهُ الله عِلْمُ ما لَمْ يَعْلَمْ

“Siapa yang mengamalkan apa yang ia ilmui, maka Allah akan wariskan ilmu kepadanya yang ia tidak ketahui.”

Jika ilmu tidak diamalkan maka ilmu akan menjadi hujjah baginya.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُجَاءُ بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِى النَّارِ ، فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فِى النَّارِ ، فَيَدُورُ كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِرَحَاهُ ، فَيَجْتَمِعُ أَهْلُ النَّارِ عَلَيْهِ ، فَيَقُولُونَ أَىْ فُلاَنُ ، مَا شَأْنُكَ أَلَيْسَ كُنْتَ تَأْمُرُنَا بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ قَالَ كُنْتُ آمُرُكُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَلاَ آتِيهِ ، وَأَنْهَاكُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ

Ada seseorang yang didatangkan pada hari kiamat lantas ia dilemparkan dalam neraka. Usus-ususnya pun terburai di dalam neraka. Lalu dia berputar-putar seperti keledai memutari penggilingannya. Lantas penghuni neraka berkumpul di sekitarnya lalu mereka bertanya, “Wahai fulan, ada apa denganmu? Bukankah kamu dahulu yang memerintahkan kami kepada yang kebaikan dan yang melarang kami dari kemungkaran?” Dia menjawab, “Memang betul, aku dulu memerintahkan kalian kepada kebaikan tetapi aku sendiri tidak mengerjakannya. Dan aku dulu melarang kalian dari kemungkaran tapi aku sendiri yang mengerjakannya.” (HR. Bukhari, no. 3267 dan Muslim, no. 2989)

Selama kita tidak mengamalkan ilmu berarti kita disebut bodoh.

Sebagaimana kata Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah, “Seseorang yang berilmu tetap disebut bodoh sampai ia mengamalkan ilmu. Jika ia mengamalkan ilmu, barulah disebut sebagai ‘alim.”

Kenapa demikian? Karena orang yang tidak mengamalkan ilmu tidaklah berbeda seperti dengan orang bodoh sampai ia mau mengamalkan ilmunya.

Kalau kita lihat praktik para salaf, mereka selalu berusaha mengamalkan ilmunya. Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,

كَانَ الرَّجُلُ مِنَّا إِذَا تَعَلَّمَ عَشْرَ آيَاتٍ لَمْ يُجَاوِزْهُنَّ حَتىَّ يَعْرِفَ مَعَانِيْهِنَّ، وَالعَمَلُ بِهِنَّ

“Dahulu orang-orang di antara kami (yaitu para sahabat Nabi) mempelajari sepuluh ayat Qur’an, lalu mereka tidak melampauinya hingga mengetahui makna-maknanya, serta mengamalkannya.” (Muqaddimah Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim karya Ibnu Katsir)

Lihatlah pula perkataan Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu,

مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لَمْ يَعْمَلْ بِهِ لَمْ يَزِدْهُ إِلاَّ كِبْرًا

“Siapa yang belajar ilmu (agama) lantas ia tidak mengamalkannya, maka hanya kesombongan pada dirinya yang terus bertambah.” (Disebutkan oleh Imam Adz-Dzahabi dalam Al-Kabair, hlm. 75)

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata,

وَأَمَّا اليَوْم فَمَا بَقِيَ مِنَ العُلُوْمِ القَلِيْلَةِ إِلاَّ القَلِيْل فِي أُنَاسٍ قَلِيْلٍ مَا أَقَلَّ مَنْ يَعْمَل مِنْهُمْ بِذَلِكَ القَلِيْل فَحَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الوَكِيْل

“Adapun hari ini, hanya sedikit ilmu yang tersisa yang ditemui pada orang-orang yang jumlahnya sedikit. Yang mengamalkannya pun sedikit. Hasbunallah wa ni’mal wakil, hanya Allah yang memberikan kecukupan dan pertolongan” (Tadzkirah Al-Hafizh, 3:1031)

Ilmu yang bermanfaat tentu saja adalah ilmu yang diamalkan. Di antara doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau meminta supaya dijauhkan dari ilmu yang tidak bermanfaat,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لاَ يَنْفَعُ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

“ALLAHUMMA INNI A’UDZU MIN ‘ILMIN LAA YANFA’, WA MIN QOLBIN LAA YAKHSYA’, WA MIN NAFSIN LAA TASYBA’, WA MIN DA’WATIN LAA YUSTAJAABU LAHAA (artinya: Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, dari hati yang tidak khusyu’, dari jiwa yang tidak pernah merasa puas, dan dari doa yang tidak dikabulkan).” (HR. Muslim, no. 2722)

 

Berdakwah dengan Ilmu

 

Jika seseorang sudah kuat dalam ilmu dan kuat dalam beramal, hendaklah ia memberikan kebaikan kepada yang lain sebagaimana dilakukan pula oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun ayat yang memotivasi untuk berdakwah adalah firman Allah,

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚعَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖوَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ

Katakanlah: “Inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Berdakwah di atas bashirahdalam ayat ini maksudnya adalah berdakwah dengan ilmu dengan mengetahui: (1) syariat, (2) keadaan orang yang didakwahi, (3) cara untuk mencapai tujuan.

Mengenai besarnya pahalanya disebutkan dalam hadits,

فَوَاللَّهِ لأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh satu orang saja diberi petunjuk (oleh Allah) melalui perantaraanmu, maka itu lebih baik dari unta merah.” (HR. Bukhari, no. 2942 dan Muslim, no. 2406, dari Sahl bin Sa’ad)

 

Sabar dalam Dakwah

 

Karena pasti dalam dakwah selalu ada tantangan dan gangguan. Cukup ayat berikut sebagai renungan,

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَىٰ مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّىٰ أَتَاهُمْ نَصْرُنَا ۚ

Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Allah kepada mereka.” (QS. Al-An’am: 34)

Sabar itu berarti menahan diri pada sesuatu dari sesuatu. Sedangkan sabar itu ada tiga macam:

  1. Sabar dalam ketaatan kepada Allah sampai dilaksanakan.
  2. Sabar dalam maksiat sampai dijauhi.
  3. Sabar dalam menghadapi takdir Allah yang terasa sakit.

 

Dalilnya adalah Surat Al-‘Ashr

 

Surat Al-‘Ashr menjelaskan mereka-mereka yang merugi kecuali empat orang:

  1. Beriman
  2. Beramal shalih
  3. Berdakwah
  4. Bersabar

Manusia termasuk merugi walaupun memiliki banyak harta dan keturunan kecuali yang memiliki empat sifat di atas. Tentu saja iman yang benar dan amal yang benar hanya didapati dengan berilmu terlebih dahulu. Berarti surat Al-‘Ashr tetap menjadi dalil harusnya berilmu, beramal, berdakwah, dan bersabar.

Kesimpulannya dari surat Al-‘Ashr adalah:

 

Orang kafir itu benar-benar merugi. Dalam ayat disebutkan,

لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Jika kamu mempersekutukan Allah, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar: 65)

Orang yang meninggalkan amal juga benar-benar merugi. Dalam ayat disebutkan,

وَمَنْ خَفَّتْ مَوَازِينُهُ فَأُولَٰئِكَ الَّذِينَ خَسِرُوا أَنْفُسَهُمْ فِي جَهَنَّمَ خَالِدُونَ

Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam.” (QS. Al-Mukminun: 103)

Enggan saling menasihati dalam kebaikan dan enggan mengingatkan kemungkaran juga termasuk dalam kerugian. Termasuk juga meninggalkan sabar terjatuh pula dalam kerugian. Dalam ayat disebutkan,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَىٰ حَرْفٍ ۖفَإِنْ أَصَابَهُ خَيْرٌ اطْمَأَنَّ بِهِ ۖوَإِنْ أَصَابَتْهُ فِتْنَةٌ انْقَلَبَ عَلَىٰ وَجْهِهِ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ ۚذَٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِينُ

Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. Rugilah ia di dunia dan di akhirat. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.” (QS. Al-Hajj: 11)

 

Semoga Allah anugerahkan kita ilmu, amal, dakwah, dan sabar, juga terus diberikan keistiqamahan.

 

Referensi:

  1. Hushul Al-Ma’mul bi Syarh Tsalatsah Al-Ushul.Cetakan kedua, Tahun 1430 H. Syaikh ‘Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.
  2. Syarh Tsalatsah Al-Ushul wa Adillatuhaa wa Al-Qawa’id Al-Arba’. Haytsam bin Muhammad Jamil Sarhan. Penerbit At-Taseel Al-Ilmi.
  3. Syarh Tsalatsah Al-Cetakan pertama, Tahun 1433 H. Syaikh Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad Alu Syaikh. Penerbit Maktabah Dar Al-Hijaz.

Diselesaikan di Anjungan Maluku Taman Mini Indonesia Indah, 8 Dzulqa’dah 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button