Keluarga

Pembantu Bukanlah Budak

Seringkali kita mendengar kata budak atau hamba sahaya dalam Al Qur’an terjemahan. Dalam bahasa Arab disebut ‘abiid (العبيد) atau riqq (الرّقّ). Sebagian orang ada yang salah paham, dikira yang namanya budak atau hamba sahaya adalah pembantu rumah tangga. Sehingga jadi salah pemahaman setelah itu, dikarenakan yang namanya budak atau hamba sahaya bisa diperlakukan sebagaimana istri bahkan tidak perlu dengan jalan menikah (klik di sini). Namun sekali ini beda dengan pembantu rumah tangga. Berikut ulasan singkatnya.

Budak dinamakan ‘abiid (hamba sahaya) karena ia diperbudak oleh orang lain, yaitu majikannya (tuannya).

Bagaimana Cara Kepemilikan Budak?

Budak bisa dimiliki oleh seseorang dengan salah satu dari beberapa cara berikut:

Pertama, kepemilikan dari tahanan atau tawanan dari musuh kaum muslimin yaitu orang-orang kafir. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah menjadikan para wanita Bani Quroizhoh (orang kafir) dan keturunannya sebagai budak. Perbudakan para tahanan tadi sebagai sikap balas Islam karena sikap congkak orang-orang kafir yang enggan beribadah kepada Allah Ta’ala. Balasannya mereka dijadikan budak di dunia.

Jadi dapat kita lihat di sini bahwa budak atau hamba sahaya asalnya dari tahanan non muslim. Jadi jelas bukan pembantu rumah tangga.

Kedua, budak bisa pula berasal dari anak budak wanita, di mana anak tersebut adalah hasil hubungan dengan selain tuannya, terserah ayah anak tadi adalah orang yang merdeka atau sama-sama budak. Anak ini jadinya adalah budak milik dari tuan dari ibunya tadi. Karena anak tadi adalah hasil dari ibunya dan hasil itu asalnya masih milik tuannya.

Ketiga, budak bisa diperoleh juga dengan cara membeli dari tuan yang memiliki budak dengan cara yang sah. Selain itu bisa pula dengan jalan mendapat hadiah, wasiat, sedekah, warisan dan cara lainnya yang masih dianggap sah pemindahan hak miliknya.

Para ulama pakar fikih katakan bahwa hukum asal manusia adalah merdeka (الحرّيّة) dan bukan budak atau hamba sahaya (الرّقّ). Dari sini, sudah sepantasnya pembantu rumah tangga diperlakukan layaknya manusia merdeka yang masih memiliki hak sebagaimana manusia lainnya. Pembantu rumah tangga bukanlah orang yang boleh begitu saja digauli. Hubungan badan dengan pembantu rumah tangga tanpa melalui jalan nikah adalah termasuk zina.

Dari sini jangan sampai lagi dipahami bahwa pembantu rumah tangga adalah budak atau hamba sahaya. Jadi, ayat berikut dimaksudkan untuk budak atau hamba sahaya, bukan untuk pembantu RT,

وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ (5) إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ (6) فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ (7)

Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun: 5-7).

Wallahu waliyyut taufiq.

Baca Juga: Apakah Suami Wajib Menyediakan Pembantu untuk Istri di Rumah?

Referensi:

Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait, 23/11-13.

Written after ‘Ashar prayer @ KSU-Riyadh KSA, 5 Rajab 1432 H (06/06/2011)

www.rumaysho.com

Artikel yang Terkait

22 Komentar

  1. Assalammu’alaikum wr.wb.
    sebelum’a saya mau tanya PakUstad’z?
    Kita sering mendengar Kasus Pemerkosaan/Pelecehan Seksual yang terjadi oleh TKW wanita kita baik di Arab maupun Malaysia. sangat tinggi sekali.

    yang mau saya tanyakan, apakah di arab sana status TKW apabila dirumah tuannya menjadi hak milik tuan’a dengan kata lain menjadi budak? atau kah memang ada peraturan khusus dari pemerintah disana? atau memang murni kasus pemerkosaan? Mohon di beri opini’a Pak Ustad’z…
    Terima Kasih

  2. Bismillah…

    Assalamu’alaykum Warahmatullah…
    Sebagai bahan tambahan pemikiran dan perenungan…

    ————————————————————————————

    Sikap Islam Terhadap Perbudakan
    Minggu, 8 Mei 2011 22:15:42 WIB

    SIKAP ISLAM TERHADAP PERBUDAKAN

    Oleh

    Syaikh Abdullah Ali Bassam dan Syaikh Abu Bakar al-Jazairi

    Syaikh Abdullah Bin Abdurrahman Bin Shalih Ali Bassam berkata di dalam
    kitab Taisir ‘Allam juz 2 halaman 567-571 : Beberapa musuh Islam mencela
    keras pelegalan perbudakan dalam Syari’at Islam, yang menurut pandangan
    mereka termasuk tindakan biadab. Karena itu saya ingin menjelaskan
    permasalahan perbudakan di dalam pandangan Islam dan ajaran-ajaran lain,
    serta secara ringkas akan saya jelaskan sikap Islam terhadap
    perbudakan.

    Sebenarnya perbudakan dahulu telah tersebar ke seluruh penjuru
    dunia/bumi, tidak hanya pada zaman Islam. Bangsa Romawi, Persia,
    Babilonia, dan Yunani, seluruhnya mengenal perbudakan. Dan para tokoh
    Yunani, seperti Plato dan Aristoteles pun hanya mendiamkan tindakan ini.
    Bahkan mereka memiliki banyak sebab untuk memperbudak seseorang seperti
    adanya perang, tawanan, penculikan atau karena menjadi pencuri. Tidak
    hanya itu, mereka pun menjual anak-anak yang menjadi tanggungan mereka
    untuk dijadikan budak, bahkan sebagian mereka menganggap para petani
    sebagai budak belian.

    Mereka memandang hina terhadap para budak, karena itu para budak
    diperkerjakan untuk mengurusi pekerjaan-pekerjaan kotor dan berat. Dan
    karena itu pula Aristoteles menganggap para budak hidupnya tidak kekal
    di akherat, baik mereka di Surga atau di Neraka, jadi para budak tidak
    bedanya dengan hewan. Fir’aun pun memperbudak Bani Israil dengan
    perlakuan yang paling keji, sehingga dengan tega ia membunuh anak
    laki-laki Bani Israil dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.
    Orang-orang Eropa pun ketika menemukan benua Amerika, mereka memberikan
    sikap yang paling buruk terhadap penduduk asli. Inilah perbudakan,
    sebab, pengaruh dan bentuknya di dalam ajaran selain Islam. Contoh yang
    baru saja kami sampaikan baru sedikit dari sekian banyak perlakuan keji
    mereka kepada para budak.

    Sekarang marilah kita perhatikan pandangan Islam terhadap perbudakan.

    1. Islam Mempersempit Sebab-Sebab Perbudakan.

    Islam menyatakan bahwa seluruh manusia adalah merdeka dan tidak bisa
    menjadi budak kecuali dengan satu sebab saja, yaitu orang kafir yang
    menjadi tawanan dalam pertempuran. Dan Panglima perang memiliki
    kewajiban memberikan perlakuan yang tepat terhadap para tawanan, bisa
    dijadikan budak, meminta tebusan atau melepaskan mereka tanpa tebusan.
    Itu semua dipilih dengan tetap melihat kemaslahatan umum.

    Inilah satu-satunya sebab perbudakan di dalam Islam berdasarkan dalil
    naqli yang shahih yang sesuai dengan dalil aqli yang shahih. Karena
    sesungguhnya orang yang berdiri menghalangi aqidah dan jalan da’wah,
    ingin mengikat dan membatasi kemerdekaan serta ingin memerangi maka
    balasan yang tepat adalah ia harus ditahan dan dijadikan budak supaya
    memperluas jalannya da’wah.

    Inilah satu-satunya sebab perbudakan didalam Islam, bukan dengan cara
    perampasan manusia, ataupun menjual orang merdeka dan memperbudak mereka
    sebagaimana umat-umat yang lain.

    2. Islam Menyikapi Para Budak Dengan Lemah Lembut Dan Penuh Kasih Sayang.

    Karena itu Islam mengancam dan memperingatkan orang yang memberikan
    beban berlebihan kepada para budak, sebagaimana sabda Rasulullah
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

    اتَّقُوا اللهَ وَ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ

    “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan perhatikanlah budak-budak yang kalian miliki” [1]

    Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

    لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ مَا لاَ يُطِيقُ

    Budak memiliki hak makan/lauk dan makanan pokok, dan tidak boleh dibebani pekerjaan yang diluar kemampuannya. [2]

    Bahkan Islam mengangkat derajat mereka, dari sekedar budak menjadi
    saudara bagi tuan mereka sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam.

    إِنَّ إِخْوَانَكُمْ خَوَلُكُمْ جَعَلَهُمُ اللَّهُ تَحْتَ أَيْدِيكُمْ
    فَمَنْ كَانَ أَخُوهُ تَحْتَ يَدِهِ فَلْيُطْعِمْهُ مِمَّا يَأْكُلُ
    وَلْيُلْبِسْهُ مِمَّا يَلْبَسُ وَلَا تُكَلِّفُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ
    فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ مَا يَغْلِبُهُمْ فَأَعِينُوهُمْ

    ”Mereka (para budak) adalah saudara dan pembantu kalian yang Allah
    jadikan di bawah kekuasaan kalian, maka barang siapa yang memiliki
    saudara yang ada dibawah kekuasaannya, hendaklah dia memberikan kepada
    saudaranya makanan seperti yang ia makan, pakaian seperti yang ia pakai.
    Dan janganlah kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang memberatkan
    mereka. Jika kamu membebani mereka dengan pekerjaan yang berat,
    hendaklah kamu membantu mereka. [3]

    Islam tidak hanya meninggikan derajat mereka dalam masalah sikap yang
    harus diberikan, akan tetapi juga di dalam berbicara dengan mereka,
    sehingga mereka tidak merasa rendah diri, karena itu Nabi Shallallahu
    ‘alaihi wa sallam bersabda.

    وَلاَ يَقُلْ أَحَدُكُمْ عَبْدِي وَ أَمَتِي وَلْيَقُلْ فَتَايَ وَفَتَاتِي

    Janganlah salah seorang diantara kalian mengatakan: Hai hamba
    laki-lakiku, hai hamba perempuanku, akan tetapi katakanlah : Hai
    pembantu laki-lakiku, hai pembantu perempuanku. [4]

    Bukan hanya itu, Islam bahkan tidak menjadikan nasab atau jasad/tubuh
    sebagai standard kemuliaan seseorang di dunia dan di akhirat, namun
    kecakapan dan nilai maknawilah standar kemuliaan manusia.

    إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللهِ أَتْقَاكُمْ

    Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian disisi Allah adalah orang-orang yang paling bertaqwa. [Al-Hujurat:13]

    Karena itu, berbekal ilmu dan kemampuan yang dimiliki, beberapa bekas
    budak bisa menyamai kedudukan tuannya, baik dengan menjadi penglima
    tentara, pemimpin umat, hakim atau jabatan-jabatan agung yang lainnya.
    Ini semua karena kemampuan mereka yang merupakan sumber kemuliaan.

    Disamping mengangkat derajat mereka, syari’at juga mengawasi dan
    memperhatikan pembebasan dengan cara mendorong perbuatan tersebut dan
    menjanjikan keselamatan dari neraka serta keberuntungan dengan masuk
    syurga bagi seorang yang membebaskan budak. Seperti hadits yang
    diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim :

    مَنْ أَعْتَقَ رَقَبَةً مُؤْمِنَةً أَعْتَقَ الهُأ بِكُلِّ عُضْوٍ مِنْهُ
    عُضْوًا مِنَ النَّارِ حَتَّى يُعْتِقَ فَرْجَهُ بِفَرْجِهِ

    Barang siapa membebaskan budak yang muslim niscaya Allah akan
    membebaskan setiap anggota badannya dengan sebab anggota badan budak
    tersebut, sehingga kemaluan dengan kemaluannya. [5]

    Cukuplah didalam keutamaan membebaskan budak, hadits shohih diatas dan
    sebuah hadits yang diriwayat oleh Tirmidzi dari Abu Umamah dan shahabat
    yang lain.

    أَيُّمَا امْرِئٍ مُسْلِمٍ أَعْتَقَ امْرَأً مُسْلِمًا كَانَ فِكَاكَهُ مِنَ النَّارِ

    Siapa saja seorang muslim yang membebaskan seorang budak yang muslim,
    maka perbuatannya itu akan menjadi pembebas dirinya dari api neraka.[6]

    Hadits dan atsar yang mendorong untuk membebaskan budak banyak sekali,
    dan tidak ada perbuatan baik yang lebih besar daripada membebaskan
    seorang muslim dari perbudakan. Karena dengan kemerdekaan dirinya
    sempurnalah derajat kemanusiaan yang ia miliki setelah dahulunya
    berstatus seperti hewan.

    Kemudian Islam memiliki beberapa sebab kemerdekaan seorang budak, baik
    merdeka secara terpaksa atau merdeka secara ikhtiari. Jalan merdeka
    secara paksa adalah.

    1. Barang siapa melukai tubuh budaknya maka ia wajib membebaskan
    budaknya tersebut. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang mengisahkan
    adanya seorang tuan yang memotong hidung budaknya, maka Rasulullah
    Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada budak itu.

    اذْهَبْ فَأَنْتَ حُرٌّ فَقَالَ يَا رَسُولَ الهِن فَمَوْلَى مَنْ أَنَا ؟ قَالَ : مَوْلَى اللهِ وَ رَسُوْلِهِ

    Pergilah engkau karena sekarang engkau orang yang merdeka, maka budak
    itu berkata: “Ya Rasulullah saya ini maula (budak) siapa”, Beliau
    menjawab : “Maula Allah dan RasulNya. [7]

    2. Seorang budak dimiliki oleh beberapa orang, lalu salah seorang
    pemilik membebaskan bagiannya, maka pemilik tadi harus membebaskan
    bagian sekutunya secara paksa. Sebagaimana dalam sebuah hadits yang
    diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

    مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي مَمْلُوكٍ وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعْتِقَ كُلَّهُ

    Barangsiapa membebaskan bagiannya dari seorang budak, maka ia wajib membebaskan seluruhnya. [8]

    Dalam hal ini perlu ada rincian yang memerlukan pembahasan tersendiri.

    3. Barang siapa memiliki budak yang ternyata masih kerabat dekatnya
    (mahramnya) maka wajib atas pemiliknya untuk membebaskan secara
    terpaksa. Berdasarkan hadits :

    مَنْ مَلَكَ ذَا رَحِمٍ مَحْرَمٍ فَهُوَ حُرٌّ

    Barang siapa memiliki budak yang termasuk kerabatnya bahkan mahromnya maka budak itu merdeka. [9]

    Inilah sebab-sebab secara terpaksa yang menghilangkan hak milik tuan
    terhadap budaknya. Sebab-sebab terpaksa ini di syari’atkan karena adanya
    rahasia syar’iyah dan pengaruh khusus sehingga syari’at tidak
    menjadikannya sebagai sebab pilihan atau sebab yang bisa dirujuk/di
    batalkan.

    Disamping mendorong untuk membebaskan budak, syari’at juga menjadikan
    pembebasan budak sebagai kafarah pertama untuk selamat dari dosa-dosa,
    pembebasan budak sebagai alternatif pertama untuk kafarah bersetubuh di
    siang bulan Ramadlan, zhihar (seorang suami mengatakan kepada istrinya
    bahwa punggungnya seperti punggung ibunya, yakni suami tidak mau
    menggauli istrinya-red) dan membunuh secara tidak sengaja.

    ISLAM AGAMA KEMULIAAN, KEAGUNGAN DAN KEADILAN.

    Setelah keterangan diatas, bagaimana mungkin orang-orang Barat atau
    orang yang kebarat-baratan mencela sikap Islam terhadap masalah
    perbudakan. Kemudian mereka membuka mulut lebar-lebar seraya meneriakkan
    kemerdekaan dan hak asasi manusia, sedangkan merekalah yang memperbudak
    rakyat dan menghinakan banyak bangsa. Mereka memperbudak bangsa lain di
    tengah-tengah bangsa itu sendiri, merampas harta benda dan menghalalkan
    negeri untuk dijajah. Mereka mengangkat kepala untuk meneriakkan HAM,
    sedangkan mereka sendiri menyikapi golongan masyarakat di dalam negeri
    mereka lebih rendah dari pada cara bergaul dengan budak.

    Dimanakah keadilan Islam dibandingkan dengan sikap orang-orang Amerika
    terhadap orang-orang Negro dengan adanya larangan masuk sekolah,
    menjabat atau bekerja sebagai pegawai negeri. Seolah-olah mereka
    menganggap orang-orang Negro sama dengan hewan.

    Dan dimanakah “Ihsan” dan rasa santun Islam dibandingkan dengan tindakan
    orang-orang Barat kepada para tahanan yang kini masih terdapat di dalam
    penjara yang gelap, padang belantara dan tempat-tempat yang tidak
    dikenal (di pembuangan)

    Dimanakah negeri Isam yang penuh cinta kasih sayang yang memberikan
    keadilan kepada seluruh penduduknya dari berbagai jenis strata sosial,
    agama dan ras sebagai bangsa dalam hak dan kewajiban, bila dibandingkan
    dengan perbuatan kriminil orang-orang Prancis terhadap manusia-manusia
    merdeka di Aljazair (dahulu Aljazair dijajah Prancis), di tengah-tengah
    negeri mereka sendiri dan di tengah-tengah bangsa mereka sendiri.
    Nyatalah sudah bahwa tuduhan yang mereka kumandangkan adalah tuduhan
    palsu/batil.

    Setelah keterangan ini, apakah belum tiba saatnya bagi para reformis dan
    pecinta kedamaian untuk membuka mata mereka kemudian kembali kepada
    ajaran Islam dengan penuh perenungan dan kesadaran, sehingga mereka
    menjadi sadar akan kebahagiaan manusia dalam ajaran Islam, baik untuk
    saat ini atau masa yang akan datang.

    TAMBAHAN

    Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata dalam Syarh al-Aqidah al
    Washithiyah juz 1 hal 229-230 takhrij Sa’ad bin Fawwaz ash Shomil cet.
    II Dar Ibnu Jauzi : “Disini kami wajib mengingatkan perbuatan sebagian
    orang yang menggantikan (istilah) keadilan dengan dengan persamaan. Ini
    merupakan kesalahan, keadilan tidak boleh dikatakan persamaan, karena
    kata persamaan terkadang menuntut adanya persamaan antara dua hal yang
    seharusnya dibedakan.

    Karena seruan yang tidak adil ini (ajakan kepada persamaan) mereka
    berkata: “Apakah perbedaan laki-laki dengan perempuan? Samakanlah
    laki-laki dengan perempuan!”. Sampai-sampai orang-orang Komunis
    mengatakan: “Apakah perbedaan antara pemerintah dengan rakyat, tidak
    mungkin orang bisa menguasai orang lain meskipun orang tua dengan anak,
    orang tua tidak mungkin mempunyai kekuasaan terhadap anak”, demikian
    seterusnya!

    Akan tetapi jika kita mengatakan “keadilan” yang maknanya memberikan hak
    kepada setiap orang yang memiliki hak tersebut, niscaya hilanglah
    bahaya (dari istilah persamaan) ini dan (kalimat yang) diungkapkan akan
    menjadi selamat dari makna yang batil. Karena itu selamanya tidak ada di
    dalam al-Qur’an ayat yang berbunyi : “Sesungguhnya Allah memerintahkan
    persamaan”. Tetapi yang ada adalah :

    إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ

    Sesungguhnya Allah memerintahkan keadilan. [An-Nahl :90]

    وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

    Dan jika engkau menghukumi manusia maka hukumilah dengan adil. [An-Nisa’ : 58]

    Maka orang yang mengatakan “Islam adalah agama persamaan” telah salah,
    akan tetapi yang benar adalah “Islam adalah agama keadilan”, yang
    bermakna: menyamakan perkara yang sama dan memisahkan perkara yang
    berbeda. Jika yang dia maksudkan dengan persamaan adalah makna keadilan
    di atas tetapi dia menggunakan istilah persamaan, maka orang ini salah
    dalam memilih kata/istilah walaupun yang dimaksudkan benar.

    Karena ini mayoritas ayat al-Qur’an meniadakan persamaan seperti :

    قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لاَ يَعْلَمُونَ

    Katakanlah: “Adakah orang yang mengetahui sama dengan orang tidak mengetahui? [Az-Zumar : 9]

    هَلْ يَسْتَوِي اْلأَعْمَى وَالْبَصِيرُ أَمْ هَلْ تَسْتَوِي الظُّلُمَاتُ وَالنُّورُ

    Adakah orang yang buta sama dengan orang yang melihat ? ataukah kegelapan-kegelapan sama dengan sebuah cahaya ? [Ar-Ra’d : 16]

    لاَ يَسْتَوِي مِنكُم مَّنْ أَنفَقَ مِن قَبْلِ الْفَتْحِ وَقَاتَلَ
    أُولاَئِكَ أَعْظَمُ دَرَجَةً مِنَ الَّذِينَ أَنفَقُوا مِن بَعْدُ
    وَقَاتَلُوا

    Tidaklah sama orang yang berinfaq dan berperang sebelum datangnya
    kemenangan (fathu Makkah), mereka lebih besar derajatnya dari pada orang
    yang berinfaq dan berperang sesudah kemenangan kemenangan (Fathu
    Makkah). [Al-Hadid : 10]

    لاَ يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُوْلِى الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللهِ

    Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak turut berperang ) yang
    tidak memiliki udzur dengan orang yang berjihad di jalan Allah.
    [An-Nisa: 95]

    Dan selamanya tidak ada satu huruf pun dalam al-Qur’an yang
    memerintahkan persamaan, yang ada hanyalah ayat yang memerintahkan
    keadilan, dan kata keadilan lebih diterima oleh jiwa.

    Saya mengingatkan hal ini, supaya omongan kita tidak seperti ocehan beo,
    karena sebagian manusia meniru ucapan orang lain tanpa perenungan,
    tanpa dipikirkan apa isinya, siapa yang membuatnya dan apa maksud kata
    tersebut menurut orang yang membuatnya.

    Syaikh Abu Bakar al-Jazairy berkata dalam Minhajul Muslim hal. 459 :
    “Jika ada orang yang bertanya : Mengapa Islam tidak mewajibkan
    pembebasan budak, sehingga seorang muslim tidak memiliki alternatif lain
    dalam hal ini?

    Jawabannya : Sesungguhnya Islam datang pada saat perbudakan telah
    tersebar dimana-mana, karena itu tidaklah pantas bagi syari’at Islam
    yang adil, yang yang menjaga jiwa, harta dan kehormatan seseorang
    manusia untuk mewajibkan kepada manusia agar membuang harta mereka
    secara sekaligus. Sebagaimana juga, banyak budak yang tidak layak untuk
    dimerdekakan, seperti anak-anak kecil, para wanita, dan sebagian kaum
    laki-laki yang belum mampu mengurusi diri mereka sendiri dikarenakan
    ketidak mampuan mereka untuk bekerja dan dikarenakan ketidak tahuan
    mereka tentang cara mencari penghidupan. Maka (lebih baik) mereka tetap
    tinggal bersama tuannya yang muslim yang memberi mereka makanan seperti
    yang dimakan tuannya, memberi mereka pakaian seperti yang dipakai
    tuannya, dan tidak membebani mereka pekerjaan yang tidak sanggup mereka
    kerjakan. Ini semua adalah beribu-ribu derajat lebih baik dari pada
    hidup merdeka, jauh dari rumah yang memberi mereka kasih sayang dan jauh
    dari perbuatan baik kepada mereka untuk kemudian menuju tempat yang
    menyengsarakan laksana neraka jahim”.

    KESIMPULAN

    Dari penjelasan diatas penerjemah menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut :

    1. Perbudakan saat ini masih diakui oleh Islam.

    2. Syarat untuk diperbudaknya seorang manusia adalah : (a) Kafir (non
    Muslim) (b) Menjadi tawanan kaum muslimin (c) Ditawan karena peperangan
    (d) Panglima perang muslim tidak memberikan alternatif lain kepada orang
    tersebut.

    3. Islam menilai seorang budak sebagai saudara bagi tuannya.

    4. Disisi lain, Islam mengusahakan kemerdekaan seorang budak dengan
    beberapa jalan, baik secara paksa maupun sukarela atau sebagai kafarah
    (penebus) dosa.

    (Diterjemahkan dan diberi catatan kaki oleh: Aris Munandar bin S. Ahmadi al-Lamfunji)

    Daftar Referensi/Maraji’:

    • Taisir ‘Allam, Syeikh Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam, Juz II, Darul Faiha dan Darus Salam cet. I tahun 1414 H

    • Minhajul Muslim, Syeikh Abu Bakar al-Jazairi, Darul Fikr, cet. I tahun 1995 M.

    • At-Targhib wat-Tarhib, al-Imam al-Mundziri, Darul Fikr, tahun 1993 M.

    • Bahjatun Nazhirin, Syeikh Abu Usamah Salim al Hilali, Daar Ibnul Jauzi, cet. I tahun 1415 H.

    • Fathul Majid Syarh kitab Tauhid, Takhrij Syeikh Ali bin Sinan, Darul Fikr, tahun 1412 H

    • Fathul Baari, Ibnu Hajar al-Ashqalani , al Maktabah as-Salafiyah.

    • Ghoits alMakdud takhrij Muntaqo ibnil Jaruud, Abu Ishaq al-Huwaini, Darul kitab al-Arabi, cet. II tahun 1414 H.

    • Irwa’ul Ghalil, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1408 H.

    • Shahih Jami’ ash-Shagir, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami.

    • Dha’if Sunan Abu Dawud, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1412 H.

    • Dha’if Sunan Ibnu Majah, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1408 H.

    • Sunan Ibnu Maajah, Toha Putra Semarang.

    • Tuhfatul Awadzi, Syeikh al-Mubarakfury, Daarul Fikri, th. 1415 H

    • Dhaif Sunan Tirmidzi, Syeikh Nashiruddin al-Albani , Maktabah al-Islami, cet. I tahun 1411 H.

    [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun V/1421H/2001M Diterbitkan
    Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km. 8
    Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]

    _______

    Footnote

    [1]. Saya tidak menemukan lafazh hadits sebagaimana yang ada diatas yang saya temukan adalah lafazh berikut :

    إِتَّقُوااللهَ فِيْمَا مَامَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ (صحيح) صحيح الجامع رقم
    106 والإرواء 2178 . إِتَّقُوااللهَ فِي الصَّلاَةِ وَ مَامَلَكَتْ
    أَيْمَانُكُمْ (صحيح) رواه الخطيب البغدادى عن أم سلمة. صحيح الجامع رقم
    105 و الصحيحة رقم :868

    [2 Dalam Shahih Muslim saya tidak menemukan lafazh yang ada diatas, yang saya temukan adalah sebagai berikut :

    لِلْمَمْلُوكِ طَعَامُهُ وَكِسْوَتُهُ وَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ
    إِلاَّ مَا يُطِيقُ (صحيح) رواه مسلم وأحمد والبيهقي ]صحيح الجامع رقم 5191
    والإرواء 2172 وفى رواية : “…فَلاَ يُكَلَّفُ مِنَ الْعَمَلِ مَالاَ
    يُطِيقُ” رواه أحمد والبيهقى أنظر تخريجه فى الإرواء 2172

    3]. Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari I/16, II/123-124 dan IV/125, juga
    terdapat dalam Adabul Mufrad No. 189, Muslim V/93, Abu Daud No. 5158,
    Tirmidzi I/353, Ibnu Majjah No. 3690, Baihaqi VIII/7 dan Ahmad V/158 dan
    161 dari Abu Dzar Radhiyallahu ‘anhu

    [4]. Shahih, Diriwayatkan oleh Bukhari kitab Al-‘Itqu No. 2552 dan Muslim No. 2449.

    [5]. Shahih, diriwayatkan oleh Imam Bukhari (lihat Fathul Bari V/146 dan Shahih Muslim No. 1509

    [6]. Imam al-Mundziri berkata: “Hadits ini diriwayatkan oleh Tirmidzi
    dan beliau mengatakan hadits ini Hasan Shahih (No. 1547), juga
    diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud semakna dengan hadits diatas
    diriwayatkan dari Ka’ab Bin Murrah, dan juga Ibnu Majah dari riwayat
    Ka’ab Bin Murrah atau Murrah Bin Ka’ab (No. 2522) Lihat at-Targhib juz 2
    hal. 421-424 No. 2947. Hadits ini tidak saya jumpai dalam Dhaif Sunan
    Abi Daud kitab al-‘Itqu hal 389-391, juga tidak saya temukan dalam Dhaif
    Sunan Ibnu Majjah kitab al-‘Itqu hal. 199-201, juga tidak saya temukan
    dalam Dhaif Sunan Tirmizi pada Abwabun Nudzur wal aiman hal. 180-181

    [7]. Hasan diriwayatkan oleh Ahmad II/182 dan lafaz ini adalah lafaz
    dari Ahmad. Juga diriwayatkan oleh Abu Daud No. 4519, Ibnu Majah No.
    2680, Ahmad II/225. Semakna dengan lafaz diatas juga diriwayatkan oleh
    Baihaqi VIII/36

    [8]. Diriwayatkan oleh Bukhari No. 2503. Lihat Fathul Baari juz 5 hal. 137 dan lengkapnya adalah sbb :

    عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِي اللَّهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
    عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ أَعْتَقَ شِرْكًا لَهُ فِي مَمْلُوكٍ
    وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يُعْتِقَ كُلَّهُ إِنْ كَانَ لَهُ مَالٌ قَدْرَ
    ثَمَنِهِ يُقَامُ قِيمَةَ عَدْلٍ وَيُعْطَى شُرَكَاؤُهُ حِصَّتَهُمْ
    وَيُخَلَّى سَبِيلُ الْمُعْتَقِ

    Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
    sallam bersabda: “Barangsiapa membebaskan bagiannya dari seorang budak,
    maka ia wajib membebaskan seluruhnya jika dia mempunyai harta sekadar
    dengan harganya yang diukur dengan adil, dan diberikan kepada para
    sekutunya bagian mereka, kemudian orang yang dimerdekakan dilepaskan.

    [9].Hadits tersebut termasuk hadits dhaiful isnad shahihul matan
    (sanadnya dha’if, tetapi maknanya/isinya shahih-red). Hadits dengan
    lafadz di atas diriwayatkan oleh Abu Daud No. 3949, Tirmizi 1365, Ahmad
    V/15 dan 20, Ath-Thayalisi No. 910, Ath-Thobrani dalam al-Kabir juz 7
    No. 5852, Hakim II/214 dan Baihaqi X/289. Lihat penjelasan kedhaifannya
    dalam Ghaitsul Makdud no. 972. Namun hadits ini memiliki syahid yang
    diriwayatkan oleh Tirmizi III/289 secara mu’allaq dan dimaushulkan oleh
    Nasa’i dalam al’Itqu sebagaimana tersebut di dalam al-Athrof V/451, Ibnu
    Majah No. 2525 dan Baihaqi X/289 dan sanad syahid dishahihkan oleh
    Syeikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam Gahitsul Makdud no. 972, Lihat juga
    Irwa’ul Ghalil juz 6 hal. 169-171 no. 1746. Lihat juga Shahih Sunan Abu
    Daud No. 3342 dan 3949, Shahih Ibnu Maajah No. 2046 dan 2047 dan
    Miskatul Mashobih (tahqiq al-Bani) No. 3393. Hadits dengan lafaz ini
    juga diriwayatkan dari Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu secara mauquf
    namun sanadnya dhaif. Lihat Dhaif Sunan Abu Daud no. 850

    http://almanhaj.or.id/content/3062/slash/0/sikap-islam-terhadap-perbudakan/

  3. Assalammu’alaikum wr.wb.
    Mohon tanya ustadz..
    selain cara kepemilikan budak di artikel diatas, boleh kah saya misalnya memiliki seorang budak wanita bila wanita tersebut yg atas kemauannya sendiri untuk saya jadikan budak untuk sementara (karena beberapa hal, misalnya menebus dosa-doanya kepada saya) dan kemudian saya menyetubuhinya selama dia msh jadi budak saya, apakah yg demikian itu menjadi halal buat saya? Terima kasih.Wassalamualaikum wr. Wb.

  4. Assalammu’alaikum wr.wb.
    Mohon izin mau tnya, Ustadz.. Kalau misalnya pembantu RT yg disediakan oleh para agen penyalur pembantu, apakah bisa dikatakan “budak yang dimiliki oleh para tuannya”?  Jadi gak harus memerdekakan para wanita korban perang, sprti di zaman Rasulullah Saw. Terima kasih…

  5. Saya punya pembantu yang diperoleh, karena orang tuanya(pembantu perempuan) tidak bisa bayar hutang jadi memberikan anaknya pada saya untuk membantu sya dirumah. Boleh ga orang seperti ini di setubuhi..?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button