Artikel Terhangat 3Thoharoh

Manhajus Salikin: Tayamum dengan Debu

 

Kali ini kita lihat lagi bahasan tayamum, mengenai tayamum dengan debu, melanjutkan perkataan Syaikh As-Sa’di dalam kitab fikihnya Manhajus Salikin.

 

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata:

Maka turab (debu) yang digunakan untuk menggantikan air.

 

Mengenal Sha’id yang Suci

Perlu diketahui bahwa para ulama sepakat bahwa bolehnya tayamum adalah dengan menggunakan sha’id yang suci. Demikian dipersyaratkan oleh jumhur (mayoritas ulama), sedangkan ulama Malikiyah memasukannya dalam wajib tayamum. Dalil harus menggunakan sha’id adalah firman Allah Ta’ala,

فَتَيَمَّمُوا صَعِيدَاً طَيِّبَاً

Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan sha’id yang baik (suci).” (QS. Al Maidah: 6). (Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 14:260)

Jumhur ulama memaknakan sha’id pada ayat di atas dengan debu. Namun ulama lainnya mengatakan bahwa sha’id adalah setiap yang berada di permukaan bumi termasuk debu, pasir, batu, kapur dan selainnya. Dalil ulama yang menyatakan demikian adalah hadits,

وَجُعِلَتْ لِىَ الأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا

Dianugerahkan untukku tanah sebagai masjid (tempat shalat) dan untuk bersuci.” (HR. Bukhari, no. 438). Hadits ini menunjukkan bahwa setiap yang berada di permukaan bumi bisa digunakan untuk bersuci. Yang termasuk sha’id adalah debu. Dan kita pun bisa menggunakan selain debu, asalkan masih menempel di atas permukaan bumi.

Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan, “Sha’id adalah sesuatu yang muncul pada permukaan bumi. Ini umum mencakup apa saja yang berada di permukaan. Hal ini berdasarkan dalil firman Allah Ta’ala,

وَإِنَّا لَجَاعِلُونَ مَا عَلَيْهَا صَعِيدًا جُرُزًا

Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi sha’id yang rata lagi tandus.” (QS. Al-Kahfi: 8)

فَتُصْبِحَ صَعِيدًا زَلَقًا

Hingga (kebun itu) menjadi sha’id yang licin.” (QS. Al-Kahfi: 40).

Ulama yang menyatakan bahwa tayamum tidak khusus dengan debu berdalil pula dengan  sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

جُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ

Dijadikan untukku permukaan bumi sebagai tempat shalat dan untuk bersuci. Maka siapa saja dari umatku yang mendapati waktu shalat, maka shalatlah.” Dalam riwayat lain disebutkan,

فَعِنْدَهُ مَسْجِدُهُ وَطَهُورُهُ

Tanah tersebut bisa jadi tempat shalat dan untuk dia bersuci.” Dalil di atas menunjukkan bahwa seorang muslim di mana pun ia berada, maka ia bisa memanfaatkan tanah yang ia temui sebagai tempat shalat dan alat untuk bersuci.

Sudah dimaklumi bahwa kebanyakan tanah yang ada tidak semuanya berupa debu. Jika kita tidak boleh tayamum dengan pasir (artinya: harus dengan debu saja), maka ini jelas menyelisihi kandungan hadits di atas. Dalil di atas jelas mendukung bolehnya tayamum dengan pasir saja atau dengan pasir ditambah batu kapur.” (Majmu’ah Al-Fatawa, 21:365-366)

Syaikh ‘Abdullah Al-Jibrin hafizahullah berkata, “Boleh saja seseorang tayamum pada dinding semen dan batu ubin walaupun tidak terdapat debu karena keduanya tersusun dari batu, debu dan selainnya yang berasal dari permukaan bumi. Namun tidak boleh tayamum pada dinding yang bercat atau tayamum pada kasur karena keduanya bukan sesuatu yang asalnya berada di permukaan bumi. Akan tetapi, jika pada dinding yang bercat atau pada kasur tersebut terdapat debu, maka boleh bertayamum di tempat tersebut.” (Syarh ‘Umdah Al-Fiqh, 1:148)

Kesimpulannya, jika ada dalil yang menyatakan tayamum dengan debu, maka itu hanyalah penyebutan sebagian cara. Namun dalil tersebut tidaklah membatalkan dalil yang membolehkan tayamum dengan sha’id secara umum. Wallahu ta’ala a’lam.

Semoga Allah menambahkan kepada kita ilmu yang bermanfaat.

 

Referensi:

  1. Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait;
  2. Majmu’ah Al-Fatawa. Cetakan keempat, Tahun 1432 H. Ahmad bin Taimiyyah Al-Harrani. Penerbit Darul Wafa’;
  3. Shahih Fiqh As-Sunnah. Syaikh Abu Malik Kamal bin As-Sayyid Salim. Al-Maktabah At-Taufiqiyah;
  4. Syarh Manhaj AsSalikin. Cetakan kedua, Tahun 1435 H. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj; (5) Syarh ‘Umdah Al-Fiqh. Cetakan keenam, Tahun 1431 H. Syaikh Prof. Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Jibrin. Penerbit Maktabah Ar-Rusyd.

 

Disusun Kamis pagi @ Perpus Rumaysho, 12 Rajab 1439 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button