Thoharoh

Manhajus Salikin: Buang Hajat Tidak Boleh Sembarangan

Buang hajat tidak boleh sembarangan, ada aturannya. Di antaranya, tidak boleh buang hajat menghadap kiblat kalau di tempat terbuka.

 

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menyatakan:

Tidak boleh buang hajat di jalan, tempat orang duduk-duduk, di bawah pohon yang berbuah, atau yang mengganggu orang lain.

Begitu pula tidak boleh buang hajat sambil menghadap kiblat, tidak boleh pula membelakanginya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian buang hajat -baik buang air kecil maupun air besar-, maka janganlah menghadap kiblat, jangan pula membelakanginya. Akan tetapi hadaplah timur atau barat.” (Muttafaqun ‘alaih).

Keterangan: Yang dimaksud dengan “hadaplah arah barat dan timur” adalah ketika kondisinya di Madinah. Karena arah kiblat di Madinah adalah menghadap ke selatan. Kalau dikatakan tidak boleh menghadap kiblat atau pun membelakanginya, berarti yang dimaksud adalah larangan menghadap selatan dan utara. Jadinya, yang dibolehkan adalah menghadap barat atau timur. Ini bagi kota Madinah, sedangkan untuk daerah lainnya tinggal menyesuaikan maksud hadits.

 

Penjelasan

1- Buang hajat di tempat-tempat yang disebutkan oleh Syaikh As-Sa’di dilarang karena mengganggu orang lain. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

« اتَّقُوا اللَّعَّانَيْنِ ». قَالُوا وَمَا اللَّعَّانَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الَّذِى يَتَخَلَّى فِى طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ فِى ظِلِّهِمْ ».

Hati-hatilah dengan al-la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia)!” Para sahabat bertanya, “Siapa itu al-la’anain (orang yang dilaknat oleh manusia), wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Mereka adalah orang yang buang hajat di jalan dan tempat bernaungnya manusia.” (HR. Muslim, no. 269)

2- Dalam bahasan kedua, Syaikh As-Sa’di melarang secara mutlak buang hajat menghadap kiblat baik ketika di dalam bangunan maupun di luar bangunan.

Namun ada hadits lainnya yang perlu dikompromikan.

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mengatakan, “Aku pernah menaiki rumah Hafshoh karena ada sebagian keperluanku. Lantas aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam buang hajat dengan membelakangi kiblat dan menghadap Syam.” (HR. Bukhari, no. 148, 3102 dan Muslim, no. 266). Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membelakangi kiblat ketika buang hajat dan ketika itu berada di dalam bangunan, artinya terhalangi oleh dinding bangunan. Membelakangi kiblat berarti menghadap ke arah utara dan Syam berada di utara Madinah.

Dari Jabir bin ‘Abdullah ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menghadap kiblat ketika kencing, namun aku melihat setahun sebelum beliau wafat, beliau menghadapnya (HR. Abu Daud no. 13, Tirmidzi no. 9 dan Ibnu Majah no. 325. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa haditsnya hasan).

 

Perlu Kompromi Dalil

Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri mengatakan bahwa tidak tepat jika mendahulukan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan larangan dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bolehnya atau keringanan. Dan tidak perlu sampai menguatkan perkataan dari perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena selama bisa dikompromikan antara perkataan dan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, itulah yang didahulukan, tanpa menempuh jalan pentarjihan (penguatan pendapat). Sehingga yang dipilih adalah dengan mengkompromikan dalil, yaitu kita katakan bahwa hadits larangan berlaku untuk luar bangunan, sedangkan hadits rukhsoh (keringanan) dimaksudkan untuk dalam bangunan. Inilah jalan kompromi yang terbaik menurut beliau sebagaimana disebutkan dalam Syarh ‘Umdah Al-Ahkam, 1:46-47.

Syaikh Prof. Dr. Musthofa Al-Bugho dalam At-Tadzhib (hlm. 20) berkata, “Larangan menghadap atau membelakangi kiblat dibawa pada makna larangan ketika berada di luar bangunan yang tidak tertutup. Sedangkan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bolehnya dipahami bolehnya di dalam bangunan.”

Sebagaimana dinukil pula oleh penulis Kifayah Al-Akhyar, Imam Nawawi berkata bahwa jika di hadapan orang yang buang hajat terdapat penutup (penghalang) yang tingginya 2/3 hasta sampai 3 hasta, maka boleh saja menghadap kiblat baik ketika berada di dalam bangunan atau di luar bangunan. Artinya, patokannya adalah adanya penghalang ataukah tidak di arah kiblat. Kalau ada penghalang berarti tidak menghadap langsung ke kiblat, maka tidaklah masalah. Demikian faedah dari Kifayah Al-Akhyar, hlm. 73.

Semoga bermanfaat.

 

Referensi:

At-Tadzhib fi Adillati Matan Al-Ghoyah wa At-Taqrib. Prof. Dr. Musthafa Dib Al-Bugha. Penerbit Darul Musthafa.

Kifayah Al-Akhyar fi Halli Ghayah Al-Ikhtishar. Muhammad bin ‘Abdul Mu’min Al-Hishni. Penerbit Darul Minhaj.

Syarh Manhaj As-Salikin. Dr. Sulaiman bin ‘Abdillah Al-Qushair. Penerbit Maktabah Dar Al-Minhaj.

Syarh ‘Umdah Al-Ahkam. Syaikh Dr. Sa’ad bin Nashir Asy-Syatsri. Penerbit Junuz Isybiliya.

 

—-

Disusun @ Perpus Rumaysho Darush Sholihin, 17 Dzulqa’dah 1438 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button