Aqidah

Memperlakukan Ulama dengan Sepantasnya

Ibnu Taimiyah rahimahullah memberikan pelajaran berharga mengenai bagaimana seharusnya kita menghormati dan memuliakan para ulama. Betapa banyak orang yang berlebih-lebihan terhadap mereka, sampai dianggap sakti luar biasa atau tidak luput dari kesalahan. Tidak sedikit pula yang melecehkan mereka. Berikut adalah penjelasan beliau yang moga-moga bisa kita renungkan dan pahami bersama.

Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,

“Wajib bagi setiap muslim setelah ia loyal pada Allah dan Rasul-Nya serta pada orang-orang beriman (sebagaimana diwajibkan dalam Al Qur’an), maka sudah seharusnya mereka juga loyal (menghormati) para ulama. Para ulama adalah pewaris para Nabi yang memberikan cahaya (ilmu) di kegelapan darat dan laut. Kaum muslimin telah sepakat atas keberadaan para ulama di atas hidayah. Namun setiap umat sebelum diutsnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ulama mereka adalah sejelek-jelek orang kala itu. Hal ini berbeda dengan kaum muslimin. Ulama kaum muslimin adalah orang-orang pilihan. Mereka, para ulama adalah khalifah penerus Rasul di umatnya. Merekalah yang menghidupkan sunnah Rasul yang telah mati. Merekalah yang menegakkan dan menyuarakan Kitab Allah.

Ketahuilah bahwa tidak ada satu pun dari para ulama yang diterima (secara umum) di tengah-tengah ummat yang dengan sengaja menyelisihi (baik secara detail dan jelas) satu saja dari sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka (para ulama) telah sepakat (ijma’) untuk mengikuti ajaran Rasul. Setiap orang boleh diambil pendapatnya dan ditinggalkan kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun patut diingat, jika didapati salah satu dari para ulama memiliki pendapat padahal telah ada hadits shahih yang menyelisihi pendapat ulama tersebut, maka sudah seharusnya kita memberi udzur pada mereka (para ulama) mengapa mereka bisa meninggalkan hadits shahih tersebut.

Sumber: Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 20/231-232

***

Sikap yang benar dalam menyikapi para ulama adalah sikap pertengahan, artinya tidak berlebihan (ghuluw) dalam mengagungkan mereka sehingga dikultuskan dan menganggap bahwa beliau tidak pantas salah, dan juga tidak bersikap melecehkan.

Semoga jadi pelajaran berharga di malam ini. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

 

Finished tonight, on 20th Dzulqo’dah 1431 H (coincide with 28th October 2010), current city: Riyadh, KSA

Written by: Muhammad Abduh Tuasikal

www.rumaysho.com

Artikel yang Terkait

9 Komentar

  1. Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh Ustadz. Terkait dengan fitnah yang tengah menimpa salah satu dai terkenal di Indonesia, beliau disebut sebagai ulama oleh media massa karena (mungkin) telah bertitel Kyai Haji. Namun saya – secara subjektif – menganggap beliau tersebut bukanlah seorang ulama tetapi hanyalah seorang dai. Tapi terus terang Ustadz, saya tidak tahu apa, bagaimana dan kapan seseorang bisa diberikan predikat sebagai Ulama. Apa indikatornya dan siapa yang berhak memberikan gelar ulama tersebut, apakah masyarakat atau pemerintah…?

  2. Masih tentang ilmu, bolehkah bagi penuntut ilmu untuk bermudah2 (bahasa jawa: jor-joran) dalam mengeluarkan uang untuk membeli kitab2 yang bermanfaat?? Mohon jawaban dari Ustadz Muhammad Abduh.

  3. Ustadz,
    1. Adakah penjelasan dari para ulama mengenai hikmah di balik perselisihan pendapat dalam masalah Fiqh?
    2. Apakah Dr. Zakir Naik dan Ahmed Deedat adalah ulama Ahlussunnah?

    1. Mengenai pertanyaan kedua, kami blm tahu.
      Hikmahnya adl agar kita bisa trus belajar dan menguasai bagaimana memahami dalil, juga ini berarti bahwa kita mesti menghargai org lain jk beda pendapat dg kita dalam masalah yg tdpt perselisihan keras di dalamnya.

    2. Untuk yg nomer 2, sependek yg saya tahu mengenai syaikh Ahmed Deedat, beliau termasuk ulama ahlussunnah yg rajin membantah pemikiran2 misionaris2 nasrani. Bagi yg pernah menonton VCD debatnya dengan beberapa pastor misionaris termasuk yg pernah saya tonton adalah debatnya dengan Anis Soros, beliau termasuk yg memiliki pengetahuan mendalam mengenai seluk beluk injil untuk kemudian membantah pemikiran mereka dengan firman Allah, Al Qur’anul Karim. Beliau berkepribadian tenang dan tidak meledak2 meskipun beliau sedang berdebat dengan lawannya, selalu murah senyum dan menguasai Al Qur’an dan hadits2 Nabi Shallallahu alaihi wasallam.

      Mengenai manhajnya, wallahu a’lam tp sejauh ini pemberitaan mengenai beliau tidak pernah buruk dan tidak ada penyimpangan. Tentunya kita sebagai muslim haruslah berhusnudzon terhadap beliau -rahimahullah-

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button