Aqidah

Salah Fatal dalam Menafsirkan Kalimat Syahadat

Masih terngiang-ngiang di telinga kita apa yang dikatakan guru agama kita di bangku sekolah dasar ketika menerangkan mengenai makna kalimat tauhid ‘laa ilaha illallah’. Guru kita pasti mengajarkan bahwa kalimat ‘laa ilaha illallah’ itu bermakna ’Tiada Tuhan selain Allah’. Namun apakah tafsiran kalimat yang mulia ini sudah benar? Sudahkah penafsiran ini sesuai dengan yang diinginkan Al Qur’an dan Al Hadits? Pertanyaan seperti ini seharusnya kita ajukan agar kita memiliki aqidah yang benar yang selaras dengan Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman generasi terbaik umat ini (baca : salafush sholih).

Tetapi mungkin ada yang bertanya-tanya,”Mengapa sih terlalu membesar-besarkan masalah ini?” Lha wong hanya berkaitan dengan penafsiran saja kok dipermasalahkan!” Apa tidak ada pembahasan yang lain?

Ingat!! Masalah ini bukanlah masalah yang remeh karena berkaitan dengan penafsiran kalimat yang paling mulia. Pada posting sebelumnya, telah dijelaskan bahwa kalimat ’lailaha illallah’ merupakan kunci surga, amalan yang paling utama, dan perkataan terakhir yang seharusnya diucapkan oleh setiap muslim sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir serta kalimat ini juga merupakan kunci untuk masuk Islam! Karena mulianya kalimat ini, maka seorang muslim seharusnya mengetahui dan memahami kalimat ini dengan benar. Selanjutnya kami akan menjelaskan terlebih dahulu pemahaman yang keliru mengenai tafsiran kalimat ini yang telah tersebar di tengah-tengah masyarakat. Yaitu kalimat yang mulia ini ditafsirkan dengan ’Tiada Tuhan selain Allah.” Semoga Allah memudahkannya.

TAFSIRAN KALIMAT ‘LAA ILAHA ILLALLAH’ = ’TIADA TUHAN SELAIN ALLAH’

Selama ini diketahui bahwa tafsiran kalimat ’laa ilaha illallah’ yang telah diajarkan sejak bangku SD sampai perguruan tinggi adalah ’Tiada Tuhan selain Allah’. Yang perlu kita tanyakan, apakah tafsiran ’laa ilaha illallah’ seperti ini sudah sesuai dengan Al Qur’an dan Al Hadits ? Jika kita perhatikan, Ilah dalam kalimat yang mulia ini diartikan dengan kata Tuhan. Apakah tafsiran seperti ini sudah tepat? Mari kita tinjau.

MAKNA ILAH ADALAH TUHAN ?

Jika kalimat ’laa ilaha illallah’ diartikan dengan ’Tiada Tuhan selain Allah’, maka ilah pada kalimat tersebut berarti Tuhan. Namun jika kita perhatikan kata Tuhan dalam penggunaan keseharian bisa memiliki dua makna.

Makna pertama, kata Tuhan berarti pencipta, pengatur, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan (yang merupakan sifat-sifat rububiyyah Allah).

Makna kedua, kata Tuhan berarti sesembahan (Sucikan Iman Anda, hal. 17).

Selanjutnya perhatikanlah firman Allah Ta’ala ,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَقُولُوا رَاعِنَا وَقُولُوا انْظُرْنَا

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): ’Raaina’, tetapi katakanlah: ’Unzhurna’, dan ’dengarlah’.” (QS. Al Baqarah [2] : 104).

Dalam ayat ini, Allah melarang para sahabat untuk menyebut ra’ina yang artinya perhatikanlah kami, tetapi hendaknya menggunakan unzhurna. Mengapa demikian? Karena kata ra’ina juga sering digunakan oleh orang-orang Yahudi untuk memanggil Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam, namun dalam rangka mengejek, ra’ina dalam penggunaan orang-orang Yahudi bermakna tolol/bodoh. Karena kata tersebut mengandung dua makna (bisa bermakna baik dan bisa bermakna buruk), maka Allah melarang yang demikian. (Lihat Tafsir Surat Al Baqarah Al ’Utsaimin) Begitu juga dengan kalimat ’laa ilaha illallah’. Karena kalimat ini merupakan kunci surga, dzikir dan amalan yang utama, serta paling banyak ganjarannya ketika diucapkan; maka seorang muslim selayaknya tidak mengartikan kalimat yang mulia ini dengan kata yang memiliki penafsiran ganda yang di dalamnya kemungkinan bermakna salah. Dari mana kita bisa menyatakan kata Tuhan pada kalimat ini bermakna keliru dan salah? Silakan menyimak tulisan selanjutnya.

ILAH = PENCIPTA, PEMBERI RIZKI, DAN PENGATUR ALAM SEMESTA

Pembahasan pertama, bagaimana kalau ilah pada kalimat ’laa ilaha illallah’ bermakna Tuhan yang berarti pencipta, pemberi rizki, dan pengatur alam semesta (disebut dengan sifat Rububiyah)? Sebelumnya perlu kami sebutkan di sini bahwasanya keyakinan tentang Allah sebagai satu-satunya pencipta, satu-satunya penguasa, satu-satunya pemberi rezki dan satu-satunya pengatur alam semesta adalah keyakinan yang benar dan tidak ada keraguan tentangnya. Namun, perlu diketahui bahwa keyakinan seperti ini juga diakui oleh orang-orang musyrik sebagaimana terdapat dalam banyak ayat/dalil. Mari kita membuka mushaf dan melihat dalil-dalil tersebut.

Dalil pertama, Allah Ta’ala berfirman,

قُلْ مَنْ يَرْزُقُكُمْ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أَمْ مَنْ يَمْلِكُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَمَنْ يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَمَنْ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ فَسَيَقُولُونَ اللَّهُ فَقُلْ أَفَلَا تَتَّقُونَ

“Katakanlah: Siapakah yang memberi rezki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang kuasa (menciptakan) pendengaran dan penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup dan siapakah yang mengatur segala urusan? Maka mereka akan menjawab: Allah. Maka katakanlah Mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya)? (QS. Yunus [10] : 31)

Dalil kedua, firman Allah Ta’ala,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَهُمْ لَيَقُولُنَّ اللَّهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ

“Dan sungguh jika kamu bertanya kepada mereka: Siapakah yang menciptakan mereka, niscaya mereka menjawab: Allah, maka bagaimanakah mereka dapat dipalingkan (dari menyembah Allah)?” (QS. Az Zukhruf [43] : 87)

Dalil ketiga, firman Allah Ta’ala,

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ نَزَّلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَحْيَا بِهِ الْأَرْضَ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهَا لَيَقُولُنَّ اللَّهُ قُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لَا يَعْقِلُونَ

“Dan sesungguhnya jika kamu menanyakan kepada mereka: Siapakah yang menurunkan air dari langit lalu menghidupkan dengan air itu bumi sesudah matinya? Tentu mereka akan menjawab: Allah, Katakanlah: Segala puji bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tidak memahami(nya).” (QS. Al ‘Ankabut [29] : 63)

Dalil keempat, firman Allah Ta’ala,

أَمْ مَنْ يُجِيبُ الْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ السُّوءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَاءَ الْأَرْضِ أَئِلَهٌ مَعَ اللَّهِ قَلِيلًا مَا تَذَكَّرُونَ

“Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Allah ada tuhan (yang lain)? Amat sedikitlah kamu mengingati(Nya).” (QS. An Naml [27] : 62)

Perhatikanlah! Dalam ayat-ayat di atas terlihat bahwasanya orang-orang musyrik itu mengenal Allah, mereka mengakui sifat-sifat rububiyyah-Nya yaitu Allah adalah pencipta, pemberi rizki, yang menghidupkan dan mematikan, serta penguasa alam semesta. Namun, pengakuan ini tidak mencukupi mereka untuk dikatakan muslim dan selamat. Kenapa? Karena mereka mengakui dan beriman pada sifat-sifat rububiyah Allah saja, namun mereka menyekutukan Allah dalam masalah ibadah. Oleh karena itu, Allah berfirman terhadap mereka,

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf [12] : 106)

Ibnu Abbas mengatakan,

”Di antara keimanan orang-orang musyrik : Jika dikatakan kepada mereka,’Siapa yang menciptakan langit, bumi, dan gunung?’ Mereka akan menjawab,’Allah’. Sedangkan mereka dalam keadaan berbuat syirik kepada-Nya.” ‘Ikrimah mengatakan,”Jika kamu menanyakan kepada orang-orang musyrik : siapa yang menciptakan langit dan bumi? Mereka akan menjawab : Allah. Demikianlah keimanan mereka kepada Allah, namun mereka menyembah selain-Nya juga.” (Lihat Al Mukhtashor Al Mufid, 10-11)

Dari ayat-ayat di atas, terlihat jelas bahwa keyakinan tentang Allah sebagai pencipta, pemberi rizki, pengatur alam semesta, yang menghidupkan dan mematikan juga merupakan keyakinan orang-orang musyrik. Bagaimana jika kalimat ‘laa ilaha illallah’ diartikan dengan tidak ada Tuhan selain Allah yang bisa bermakna ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada penguasa selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rizki selain Allah’? Kalau diartikan demikian, lalu apa yang membedakan seorang muslim dan orang-orang musyrik? Apa yang membedakan orang-orang musyrik sebelum mereka masuk Islam dan setelah masuk Islam? Dan perhatikanlah tafsiran semacam ini akan membuka berbagai pintu kesyirikan di tengah-tengah kaum muslimin.

Kenapa demikian? Karena kaum muslimin akan menyangka bahwa ketika seseorang sudah mengakui ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada pemberi rizki selain Allah’, maka mereka sudah disebut muwahhid (orang yang bertauhid). Walaupun mereka berdo’a dengan mengambil perantaraan selain Allah, bernadzar dengan ditujukan kepada kyai fulan, itu tidaklah mengapa. Ini sungguh kekeliruan yang sangat fatal. Berarti keyakinan mereka sama saja dengan keyakinan orang-orang musyrik dahulu yang mengakui sifat-sifat rububiyyah Allah, namun mereka menyekutukan Allah dalam ibadah seperti do’a dan nadzar. Orang-orang musyrik tidak mengingkari sifat rububiyyah semacam ini sebagaimana terdapat pada ayat-ayat di atas. Jelaslah pada pembahasan pertama ini kesalahan tafsiran ‘laa ilaha illallah’ dengan tiada Tuhan selain Allah yang bermakna tidak ada pencipta selain Allah atau tiada penguasa selain Allah. Letak kesalahannya adalah karena mengartikan kalimat syahadat ini dengan sebagian maknanya saja yaitu makna rububiyyah. Sedangkan makna rububiyyah jelas-jelas juga diakui oleh kaum musyrikin, walaupun kalimat tidak ada pencipta selain Allah dan semacamnya, pada dasarnya bermakna benar.

Demikian pembahasan kali ini, kita akan melanjutkan pada pembahasan pada posting selanjutnya. Harap bersabar. Alhamdulillahilladzi bi nimatihi tatimmush sholihaat.

Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya Muhammad Abduh Tuasikal, ST

Seri satu dari tiga tulisan Disusun oleh Muhammad Abduh Tuasikal, ST

Baca Juga:

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button