Manajemen Qolbu

Tiga Tingkatan Itsar Menurut Ibnul Qayyim: Mendahulukan Orang Lain dan Keridaan Allah

Itsar—mendahulukan orang lain di atas diri sendiri—merupakan salah satu akhlak tertinggi dalam Islam. Namun, para ulama menjelaskan bahwa itsar tidak hanya sebatas memberi atau berkorban untuk sesama. Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Madarij As-Salikin menerangkan bahwa itsar memiliki tingkatan yang jauh lebih dalam: mulai dari mengutamakan kebutuhan orang lain, hingga mendahulukan keridaan Allah di atas keridaan seluruh makhluk, bahkan sampai pada derajat menyandarkan seluruh kebaikan hanya kepada Allah. Setiap tingkatannya memiliki batasan, adab, dan cara meraihnya, sehingga seorang Muslim dapat menjalani akhlak ini tanpa merusak agamanya dan tetap menjaga hubungannya dengan Allah. Tulisan ini merangkum penjelasan tersebut secara ringkas, sistematis, dan mudah dipahami agar pembaca dapat menerapkan makna itsar dalam kehidupan sehari-hari.

 

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab beliau Madaarij As-Salikiin berkata,

Tingkatan pertama: Engkau mendahulukan orang lain atas dirimu pada hal-hal yang tidak merusak agamamu, tidak memutus jalanmu menuju Allah, dan tidak merusak waktumu.

Maksudnya: engkau mengutamakan mereka atas dirimu dalam kebutuhan mereka.

Misalnya, engkau memberi mereka makanan sementara engkau sendiri lapar, memberi mereka pakaian sementara engkau kekurangan, atau memberi mereka minum sementara engkau sendiri kehausan—selama hal itu tidak membuatmu melakukan sesuatu yang merusak dan tidak boleh menurut agama. Contohnya, engkau mengutamakan mereka dengan hartamu sampai akhirnya engkau menjadi beban bagi orang lain, memandang kepada apa yang ada di tangan manusia, atau bahkan menjadi seorang pengemis. Termasuk juga mengutamakan mereka dalam sesuatu yang menurut agama sebenarnya tidak boleh engkau berikan. Itu semua adalah tindakan bodoh dan lemah. Pelakunya tercela di sisi Allah dan juga di sisi manusia.

Adapun perkataannya, “tidak memutus jalanmu”, maksudnya adalah tidak memutus jalan pencarianmu dan perjalananmu menuju Allah Ta‘ala. Contohnya, engkau mendahulukan teman dudukmu daripada dzikirmu, atau daripada perhatian dan kekhusyukanmu kepada Allah. Dengan begitu, engkau telah mengutamakannya atas Allah. Engkau mengorbankan bagianmu dari Allah untuk sesuatu yang tidak layak diutamakan. Perumpamaanmu seperti seorang musafir yang sedang berjalan di jalan. Lalu ada seseorang yang menghentikannya dan mengajaknya mengobrol serta melalaikannya hingga ia tertinggal dari rombongannya. Inilah keadaan kebanyakan manusia terhadap seseorang yang benar-benar sedang berjalan menuju Allah Ta‘ala. Mengutamakan mereka atas Allah adalah kerugian yang nyata. Betapa banyak orang yang mendahulukan makhluk selain Allah, dan betapa sedikit orang yang mendahulukan Allah di atas selain-Nya.

Demikian juga, itsar yang merusak waktu pelakunya adalah perbuatan buruk. Misalnya, ia mengutamakan orang lain dengan waktunya, lalu ia sibuk memikirkan gantinya (apa yang hilang), atau ia mengorbankan sesuatu yang sebelumnya telah menyatukan hati dan pikirannya kepada Allah, lalu hatinya kembali tercerai-berai dan pikirannya terpecah. Ini juga termasuk bentuk itsar yang tidak terpuji.

Begitu pula itsar dalam bentuk kesibukan hati dan pikiran untuk memenuhi kepentingan mereka—padahal itu bukan kewajiban atasmu—hingga engkau kehilangan kesempatan untuk berpikir tentang hal-hal yang bermanfaat, dan kehilangan kesempatan untuk mengarahkan hati kepada Allah. Contoh-contoh semacam ini sangat banyak dan tidak samar. Bahkan, beginilah keadaan kebanyakan manusia.

Setiap sebab yang membawa kebaikan bagi hatimu, waktumu, dan keadaanmu bersama Allah, maka jangan engkau dahulukan siapa pun atasnya. Jika engkau melakukannya, maka sebenarnya engkau sedang mendahulukan setan atas Allah, sementara engkau tidak menyadarinya.

Perhatikanlah keadaan kebanyakan manusia dalam mendahulukan seseorang atas Allah—bahkan orang yang justru memudaratkan mereka ketika mereka utamakan, dan tidak memberi manfaat apa pun bagi mereka. Kebodohan dan kecerobohan apa yang lebih parah daripada ini?

Dari sini para ulama fikih membahas mengenai itsar dalam ibadah-ibadah yang bernilai dekat (kepada Allah). Mereka mengatakan bahwa hal itu hukumnya makruh atau haram. Contohnya, seseorang mengutamakan orang lain untuk mendapatkan saf pertama lalu ia sendiri mundur, atau mengutamakan orang lain agar duduk dekat imam pada hari Jumat, atau mengutamakan orang lain untuk melakukan azan dan iqamah, atau mengutamakan orang lain dalam ilmu yang seharusnya ia dapatkan untuk dirinya, lalu ia mengangkat orang itu di atas dirinya sehingga orang itu memperoleh keutamaan tersebut sedangkan ia kehilangan.

Mereka juga membahas mengenai tindakan Aisyah radhiyallahu ‘anha yang mengutamakan Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhu untuk dimakamkan di kamar beliau di dekat Rasulullah ﷺ.

Para ulama menjawab bahwa ketika seseorang meninggal, amalnya terputus. Maka tidak mungkin terjadi itsar dalam bentuk kedekatan (ibadah) setelah kematian, karena orang yang telah meninggal tidak mungkin lagi mendapatkan kedekatan semacam itu. Hal yang terjadi hanyalah itsar berupa memberikan tempat tinggal yang mulia dan utama bagi seseorang yang lebih layak mendapatkannya daripada diri Aisyah sendiri. Maka itsar seperti itu justru menjadi bentuk pendekatan diri kepada Allah bagi orang yang melakukannya. Allah-lah yang lebih mengetahui.

 

Cara mewujudkan itsar jenis ini

Itsar (mendahulukan orang lain) tidak dapat diwujudkan kecuali dengan tiga hal: mengagungkan hak-hak (orang lain), membenci sifat kikir, dan memiliki keinginan kuat untuk meraih akhlak yang mulia.

Beliau menyebutkan hal-hal yang membantu seseorang untuk mampu beritsar dan mendorongnya agar mampu melakukannya. Ada tiga hal.

Pertama: Mengagungkan hak-hak (orang lain).

Seseorang yang memandang bahwa hak-hak itu sesuatu yang agung, maka ia akan menunaikan kewajibannya, menjaga hak tersebut dengan baik, dan menganggap besar bila ia menyia-nyiakannya. Ia pun akan sadar bahwa jika ia belum mencapai derajat itsar, berarti ia belum menunaikan hak tersebut sebagaimana mestinya. Karena itu, ia menjadikan itsar sebagai bentuk kehati-hatian agar dapat menunaikan hak tersebut dengan sempurna.

Kedua: Membenci sifat kikir.

Ketika seseorang membenci dan memusuhi sifat kikir, ia akan berpegang pada itsar. Ia melihat bahwa tidak ada jalan baginya untuk selamat dari sifat kikir yang dibenci itu kecuali dengan beritsar.

Ketiga: Keinginan kuat terhadap akhlak yang mulia.

Seberapa besar keinginannya terhadap akhlak yang mulia, sebesar itu pula itsarnya. Sebab, itsar adalah tingkatan paling tinggi dari akhlak yang mulia.

 

Tingkatan kedua: mendahulukan keridaan Allah atas keridaan selain-Nya, sekalipun ujian di dalamnya besar, beban yang ditanggung berat, dan kemampuan diri serta fisik terasa lemah.

Mendahulukan keridaan Allah Azza wa Jalla atas selain-Nya berarti: engkau menginginkan dan melakukan sesuatu yang mendatangkan keridaan-Nya, meskipun hal itu membuat manusia marah.

Inilah derajat para nabi, dan tingkatan tertingginya dimiliki oleh para rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Di antara mereka pun, tingkatan tertinggi adalah milik ulul ‘azmi, dan dari seluruh ulul ‘azmi, tingkatan tertinggi adalah milik Nabi kita Muhammad ﷺ. Beliau menghadapi seluruh manusia, total dalam berdakwah kepada Allah, menanggung permusuhan orang-orang jauh maupun dekat karena Allah Ta‘ala, dan mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk dari semua sisi. Tidak ada celaan dari siapa pun yang dapat menghalangi beliau dalam mengutamakan keridaan Allah. Seluruh perhatian, tekad, dan usahanya tertuju hanya pada mengutamakan keridaan Allah, menyampaikan risalah-Nya, meninggikan kalimat-Nya, dan berjihad melawan musuh-musuh-Nya. Hingga agama Allah tampak di atas seluruh agama, hujah-Nya tegak atas seluruh manusia, dan nikmat-Nya sempurna bagi orang-orang beriman. Maka beliau telah menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasihati umat, berjihad di jalan Allah sebagaimana mestinya, dan beribadah kepada Allah hingga datang kepadanya “keyakinan” (kematian) dari Rabbnya. Tidak ada seorang pun yang mencapai derajat itsar seperti yang dicapai beliau. Shalawat dan salam Allah atas beliau.

Adapun ucapannya: “sekalipun ujian di dalamnya besar dan beban yang ditanggung berat,”

maka ujian itu pada awalnya memang terasa berat agar orang yang bukan ahlinya tersingkir. Bila seseorang menanggungnya dan terus maju, ujian itu akan berubah menjadi karunia, dan beban itu akan berubah menjadi pertolongan. Hal ini dikenal berdasarkan pengalaman, baik pengalaman pribadi maupun umum. Tidaklah seorang hamba mendahulukan keridaan Allah Azza wa Jalla atas keridaan makhluk, lalu ia menanggung beratnya dan bebannya, serta bersabar terhadap ujiannya, melainkan Allah akan menjadikan dari ujian dan beban itu nikmat dan kebahagiaan, serta pertolongan sebesar apa yang ia tanggung demi keridaan-Nya. Ketakutannya berubah menjadi rasa aman, hal yang ia khawatirkan berubah menjadi keselamatan, kelelahan berubah menjadi istirahat, bebannya berubah menjadi pertolongan, musibahnya berubah menjadi nikmat, ujiannya berubah menjadi anugerah, dan kemurkaan (manusia) berubah menjadi keridaan. Sungguh merugi orang-orang yang mundur, dan sungguh hina orang-orang yang takut mengambil langkah.

Selain itu, telah menjadi sunnatullah—yang tidak akan berubah—bahwa siapa yang lebih mengutamakan keridaan makhluk daripada keridaan-Nya, maka Allah akan membuat orang yang ia berharap ridhanya itu justru marah kepada dirinya, kemudian Allah akan menelantarkannya, dan menjadikan musibahnya berasal dari orang itu sendiri. Orang yang dulu memujinya akan berubah mencelanya. Ia akan mengutamakan keridaan makhluk yang ternyata marah kepadanya. Maka tidaklah ia mendapatkan apa yang ia inginkan dari makhluk, dan tidak pula ia memperoleh pahala keridaan Rabbnya. Ini adalah orang yang paling lemah dan paling bodoh.

Ini semua terjadi padahal keridaan manusia itu:

bukan sesuatu yang mungkin sepenuhnya dicapai, bukan sesuatu yang diperintahkan untuk dicari, dan bukan pula sesuatu yang diriwayatkan sebagai tujuan. Keridaan manusia itu mustahil sepenuhnya. Justru, pasti akan ada saja yang marah kepadamu. Maka, biarlah mereka marah tetapi engkau mendapatkan keridaan Allah—ini lebih engkau cintai dan lebih bermanfaat bagimu dibanding mereka ridha kepadamu sementara Allah tidak ridha kepadamu.

Selama keduanya sama-sama berpotensi menimbulkan kemurkaan manusia—baik engkau mengutamakan Allah maupun mereka—maka pilihlah kemurkaan mereka yang justru membawa keridaan Allah. Jika setelah itu mereka ridha kepadamu, maka itu baik. Jika tidak, tidak masalah. Sebab, keridaan orang yang tidak memberi manfaat kepadamu dan tidak pula memberi mudarat kepadamu—baik dalam agamamu, imanmu, maupun akhiratmu—adalah perkara yang paling ringan. Jika mereka memberi mudarat kepadamu dalam urusan dunia, maka kemurkaan Allah jauh lebih berat dan lebih besar bahayanya.

Kecerdasan yang benar adalah ketika seseorang menanggung keburukan yang lebih kecil untuk mencegah keburukan yang lebih besar, dan meninggalkan kebaikan yang kecil untuk mendapatkan kebaikan yang lebih besar. Maka timbanglah dengan akalmu. Setelah itu, lihatlah mana yang lebih baik untuk diutamakan, dan mana yang lebih buruk untuk dijauhi. Inilah dalil yang pasti dan niscaya dalam mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk.

Ini semua berlaku karena jika seseorang mengutamakan keridaan Allah, maka Allah akan mencukupinya dari beban menghadapi kemurkaan manusia. Tetapi jika ia mengutamakan keridaan manusia, mereka tidak akan mampu mencukupinya dari beban kemurkaan Allah kepadanya.

Sebagian salaf berkata, “Mengusahakan (keridaan) satu wajah lebih ringan bagimu daripada mengusahakan wajah banyak orang. Jika engkau mengusahakan keridaan satu wajah itu (yakni Allah), maka Ia akan mencukupimu dari semua wajah lainnya.”

Imam Syafi‘i radhiyallahu ‘anhu berkata, “Keridaan manusia adalah tujuan yang tidak akan pernah tercapai. Karenanya, berpeganglah pada apa yang menjadi kebaikan dirimu, lalu istiqamahilah.”

Dan sudah jelas bahwa tidak ada kebaikan bagi diri seseorang kecuali dengan mengutamakan keridaan Rabb dan Tuannya atas selain-Nya.

Sungguh bagus bait syair Abu Firas dalam makna ini—namun sangat buruk arah ucapannya karena ia menujukannya kepada makhluk yang tidak memiliki manfaat dan mudarat untuk dirinya sendiri maupun orang lain:

Seandainya engkau manis, walau hidup ini pahit.
Seandainya engkau ridha, saat seluruh manusia murka.
Andai yang antara aku dan engkau menjadi baik,
dan antara aku dan seluruh manusia menjadi rusak.
Jika kasih sayang darimu benar adanya, maka segalanya menjadi ringan.
Dan seluruh yang berada di atas tanah ini hanyalah tanah.

 

Cara mewujudkan itsar jenis ini

“Itsar ini hanya dapat diwujudkan dengan tiga hal: baiknya tabiat, sempurnanya keislaman, dan kuatnya kesabaran.”

Sudah diketahui bahwa seseorang yang mengutamakan keridaan Allah pasti akan menghadapi permusuhan manusia, gangguan mereka, dan usaha mereka untuk membinasakannya—dan itu tidak dapat dihindari. Inilah sunnatullah pada makhluk-Nya. Kalau tidak demikian, apa salah para nabi dan rasul? Apa salah orang-orang yang memerintahkan keadilan di tengah manusia? Apa salah para penjaga agama Allah dan para pembela kitab-Nya serta sunnah Rasul-Nya di hadapan manusia?

Maka siapa pun yang mengutamakan keridaan Allah, niscaya ia akan dimusuhi oleh orang-orang rendahan di dunia, sampah masyarakat, orang-orang rakus, para pendengki dan orang-orang bodoh, para ahli bid‘ah dan kefasikan, para penguasa yang zalim, dan setiap orang yang menyelisihi petunjuk Allah. Tidak ada yang berani menghadapi permusuhan mereka kecuali orang yang benar-benar ingin kembali kepada Allah, dan orang yang bekerja keras untuk menjadi hamba yang mendengar panggilan:

“Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dalam keadaan engkau ridha dan diridhai.”

Hanya orang yang keislamannya kokoh dan sempurna yang mampu menghadapi semua itu—keislaman yang tidak digoyahkan oleh manusia dan tidak digetarkan oleh gunung-gunung. Juga hanya orang yang ikatan kesabarannya kuat, yang tidak terurai oleh ujian, cobaan, dan rasa takut.

Aku berkata: Pokok utama semua ini ada dua hal: zuhud terhadap kehidupan (dunia) dan zuhud terhadap pujian manusia. Tidaklah seseorang menjadi lemah dan mundur kecuali karena cintanya pada kehidupan dunia, keinginannya untuk tetap hidup, serta cintanya terhadap pujian manusia dan kebenciannya terhadap celaan mereka. Jika seseorang zuhud terhadap dua hal ini, maka segala rintangan akan menjauh darinya. Saat itulah ia akan terjun sepenuhnya dalam pasukan yang berjuang menuju Allah.

Adapun pokok dari dua perkara ini bertumpu pada dua hal: kebenaran yakin dan kekuatan cinta (kepada Allah).

Dan pokok dari dua perkara itu pun bertumpu pada dua perkara lagi: tulus dalam bergantung kepada Allah dan sungguh-sungguh dalam mencari (keridaan-Nya), serta bersegera mengambil sebab-sebab yang mengantarkan kepada keduanya.

Sampai di sinilah batas kemampuan dan pengetahuan manusia. Adapun taufik berada di tangan Zat yang menguasai seluruh urusan.

“Dan kalian tidak akan mampu (berkehendak) kecuali jika Allah menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Bijaksana. Dia memasukkan siapa saja yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Adapun orang-orang zalim, bagi mereka disiapkan azab yang pedih.”

 

Tingkatan ketiga: mengutamakan itsar Allah itu sendiri. Sebab, terjun ke dalam pengakuan itsar berarti klaim terhadap kepemilikan. Kemudian meninggalkan penyaksian bahwa engkau melihat Allah beritsar. Lalu hilangnya dirimu dari meninggalkan hal itu.

Yang dimaksud dengan “mengutamakan itsar Allah” adalah: engkau menisbatkan itsar itu kepada Allah, bukan kepada dirimu. Dialah yang sebenarnya beritsar, bukan engkau. Seolah-olah engkau menyerahkan seluruh makna itsar hanya kepada-Nya. Jika engkau mengutamakan orang lain dalam suatu hal, maka sebenarnya yang mengutamakannya adalah Allah, bukan engkau. Dialah yang benar-benar melakukan itsar, karena Dialah yang memberi dalam hakikatnya.

Kemudian syaikh menjelaskan sebab yang membuat itsar itu layak disandarkan kepada Allah dan ditinggalkan dari penisbatan kepada diri sendiri. Beliau berkata: “Sebab, terjun dalam itsar adalah klaim terhadap kepemilikan.”

Jika seorang hamba mengaku bahwa ia melakukan itsar, berarti ia mengklaim memiliki sesuatu yang ia gunakan untuk mengutamakan orang lain. Padahal kepemilikan yang hakiki hanyalah milik Allah, yang memiliki segala sesuatu. Jika hamba keluar dari klaim kepemilikan, maka ia telah mengutamakan itsar Allah—yang berupa pemberian-Nya—di atas itsar dirinya sendiri. Ia menyaksikan bahwa hanya Allah semata yang beritsar dengan kepemilikan-Nya. Adapun mereka yang tidak memiliki apa pun, itsar apa yang bisa mereka lakukan?

Adapun ucapan beliau: “Kemudian meninggalkan penyaksian bahwa engkau melihat itsar Allah.”

Maksudnya: ketika engkau sudah mengutamakan itsar Allah dengan menyerahkan makna itsar kepada-Nya, maka masih ada sisa dari dirimu yang harus engkau tinggalkan. Yaitu: engkau harus berpaling dari perasaan melihat dirimu bahwa engkau telah mengutamakan Allah melalui itsar itu, dan bahwa engkau menisbatkan itsar kepada-Nya, bukan kepada dirimu. Sebab, dalam penyaksian dan pandangan seperti itu terdapat klaim lain—yang lebih besar daripada klaim kepemilikan—yaitu klaim bahwa engkau memiliki sesuatu yang engkau gunakan untuk mengutamakan Allah, dan bahwa engkau mendahulukan-Nya atas dirimu melalui sesuatu yang engkau miliki. Klaim ini lebih sulit daripada klaim sebelumnya, karena mencakup seluruh kandungan klaim kepemilikan dan bahkan lebih dari itu, yaitu pengakuan bahwa engkau beritsar dengan sesuatu tersebut. Klaim pertama adalah klaim kepemilikan karena engkau beritsar dengannya, sedangkan klaim kedua adalah klaim kepemilikan sekaligus klaim beritsar dengannya.

Karena itu, engkau harus meninggalkan penyaksian terhadap itsar ini. Jangan mengira bahwa engkau telah mengutamakan Allah dengan itsar tersebut. Sebab, Allah-lah yang telah mendahulukan hal itu untuk diri-Nya tanpa dirimu. Itsar itu wajib bagi Allah karena Dia sendiri yang menetapkannya bagi diri-Nya, bukan karena engkau yang menetapkannya untuk-Nya.

Adapun ucapan beliau: “Lalu hilangnya dirimu dari meninggalkan (penisbatan) itu.”

Maksudnya: ketika engkau telah sampai pada tingkat penyaksian tersebut, dan engkau telah melihat hakikat itu, masih ada satu sisa lagi dalam dirimu yang harus hilang. Yaitu: pandanganmu terhadap tindakan “meninggalkan” itu, sebuah pandangan yang mengandung klaim bahwa engkau memiliki “tindakan meninggalkan” tersebut. Padahal klaim semacam itu adalah klaim yang tidak benar. Sebab, seorang hamba tidak memiliki bagian sedikit pun dalam urusan apa pun. Tidak ada pada dirinya kekuasaan untuk berbuat atau meninggalkan sesuatu. Sesungguhnya seluruh urusan ada di tangan Allah.

Telah jelas melalui penyingkapan (kasyf), penyaksian (syuhud), ilmu, dan ma‘rifat, bahwa seorang hamba pada hakikatnya tidak memiliki apa pun. Ia sama sekali tidak memiliki kepemilikan yang sejati. Pemilik yang hakiki hanyalah Tuannya (Allah). Maka sikap mendahulukan (al-atsarah), beritsar, dan mengambil untuk diri-Nya (istitsar)—semuanya hanya milik Allah, berasal dari-Nya, dan kembali kepada-Nya. Baik hamba memilih hal itu dan mengetahuinya, atau tidak mengetahuinya, atau tidak memilihnya—itsar itu tetap terjadi. Baik hamba membencinya atau menyukainya.

Sebab, itsar itu adalah bentuk Allah sebagai Pemilik yang hakiki yang mendahulukan diri-Nya dengan apa yang menjadi milik-Nya. Maha tinggi Allah.

Dari sinilah dapat dipahami ucapan beliau: “Sesungguhnya itsar itu baik bila dilakukan dengan sukarela, dan sah bila dilakukan secara terpaksa.”

Dan Allah Subhanahu wa Ta‘ala lebih mengetahui.

Demikian penjelasan Imam Ibnul Qayyim dari Madaarij As-Saalikin. 

 

Ringkasan Bahasan

I. TIGA MACAM ITSAR (MENDAHULUKAN PIHAK LAIN)

Menurut Ibnul Qayyim dalam Madarij As-Salikin, itsar terbagi menjadi tiga tingkatan:

1. Itsar Tingkat Pertama: Mendahulukan Sesama atas Diri Sendiri

Yaitu mendahulukan kebutuhan orang lain asalkan tidak merusak:

  • Agamanya

  • Perjalanan spiritualnya menuju Allah

  • Waktunya yang berharga

2. Itsar Tingkat Kedua: Mendahulukan Keridaan Allah atas Keridaan Makhluk

Yaitu mengutamakan apa yang diridhai Allah sekalipun mendatangkan ketidaksukaan manusia, bahkan bila ujian dan beban terasa berat.

3. Itsar Tingkat Ketiga: Mengutamakan Itsar Allah Sendiri

Yaitu menyandarkan seluruh pemberian dan pengorbanan kepada Allah, bukan kepada diri sendiri, sampai seseorang tidak lagi menganggap bahwa dirinya memiliki peran apa pun dalam pemberian tersebut.

II. RINGKASAN ISI SETIAP TINGKATAN

1. Ringkasan Tingkatan Pertama: Mendahulukan orang lain tanpa merusak diri

Hal yang ditekankan Ibnul Qayyim:

  • Boleh memberi makan, pakaian, dan bantuan kepada orang lain selama tidak membuat diri terjatuh pada kemiskinan yang tercela, meminta-minta, atau menanggung dampak buruk agama.

  • Tidak boleh mengutamakan orang lain dalam urusan ibadah yang bersifat kedekatan (seperti saf pertama, azan, ilmu wajib).

  • Itsar tidak boleh merusak hubungan dengan Allah, seperti mengutamakan teman ngobrol daripada zikir.

  • Itsar tidak boleh merusak waktu, fokus hati, atau ibadah.

Kaedah penting:

“Segala hal yang mendatangkan kebaikan bagi hati, waktu, dan hubunganmu dengan Allah tidak boleh diberikan kepada siapa pun.”

2. Ringkasan Tingkatan Kedua: Mendahulukan keridaan Allah atas keridaan makhluk

Inti bahasan:

  • Inilah derajat para nabi dan rasul, khususnya Rasulullah ﷺ.

  • Siapa yang mengutamakan Allah pasti diuji: dimusuhi, dicela, disakiti oleh manusia.

  • Namun, bila ia sabar dan tetap mendahulukan Allah:

    • Ujian berubah menjadi nikmat

    • Ketakutan menjadi rasa aman

    • Beban menjadi pertolongan

    • Musibah menjadi anugerah

Sunnatullah yang pasti:

“Siapa yang mengejar keridaan manusia, Allah akan membuat manusia murka padanya. Siapa yang mengejar keridaan Allah, Allah akan mencukupinya dari semua manusia.”

Kaedah akal sehat:

➜ Menanggung keburukan kecil demi menghindari keburukan besar adalah tanda cerdas.
➜ Maka biarkan manusia marah, selama Allah ridha.

3. Ringkasan Tingkatan Ketiga: Mengutamakan itsar Allah (tingkatan ma’rifat tertinggi)

Makna intinya:

  • Menyadari bahwa semua pemberian berasal dari Allah, bukan dari diri sendiri.

  • Ketika seseorang merasa “aku telah memberi”, itu sebenarnya klaim kepemilikan, padahal hamba tidak memiliki apa pun.

  • Tidak cukup menyadari bahwa “itsar ini dari Allah”, tetapi juga harus hilang dari perasaan bahwa “aku telah meninggalkan diriku demi Allah” karena itu pun mengandung klaim.

  • Hakikat tertinggi: semua berasal dari Allah, berlangsung karena Allah, dan kembali kepada Allah.

Kaedah tauhid dalam pemberian:

“Itsar itu baik bila dilakukan rela, dan sah bila dilakukan terpaksa; karena semuanya adalah milik Allah dan terjadi dengan kehendak-Nya.”

III. CARA MENGGAPAI ITSAR PADA SETIAP TINGKATAN

A. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Pertama (Mendahulukan orang lain)

Dicapai melalui tiga perkara:

1. Mengagungkan hak-hak manusia

  • Menjunjung tinggi hak-hak orang lain membuat seseorang berusaha menunaikannya dengan sempurna, bahkan kadang menggunakan itsar sebagai bentuk kehati-hatian.

2. Membenci sifat kikir

  • Orang yang membenci kekikiran akan mencari jalan keluar darinya, yaitu dengan beritsar.

3. Rindu terhadap akhlak mulia

  • Semakin tinggi keinginan terhadap akhlak mulia, semakin mudah someone beritsar.

B. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Kedua (Mendahulukan Allah atas selain-Nya)

Tingkat ini hanya bisa dicapai dengan tiga modal besar:

1. Baiknya tabiat dan jiwa

  • Jiwa yang baik lebih siap memikul beban untuk Allah.

2. Kuatnya keislaman

  • Islam yang kuat membuat seseorang tidak goyah oleh celaan manusia dan tidak gentar menghadapi musuh-musuh kebenaran.

3. Kesabaran yang besar

  • Karena jalan menuju keridaan Allah penuh cobaan, seseorang harus kuat memikulnya.

Dua fondasi utama tambahan:

  • Zuhud terhadap dunia

  • Zuhud terhadap pujian manusia

Dan dua penguat fondasi:

  • Yakin yang benar

  • Cinta kepada Allah

Penggerak dua hal itu:

  • Tulus bergantung kepada Allah

  • Sungguh-sungguh mencari keridaan-Nya

C. Kiat Menggapai Itsar Tingkatan Ketiga (Mengutamakan itsar Allah)

Tingkat ini hanya diraih dengan:

1. Membersihkan hati dari klaim kepemilikan

  • Menyadari bahwa hamba tidak memiliki apa pun untuk diitsarkan.

2. Menyandarkan pemberian dan pengorbanan hanya kepada Allah

  • Melihat bahwa Dialah yang memberi, memilih, dan mendahulukan.

3. Hilangnya perasaan diri dalam amal

  • Tidak melihat diri sebagai pelaku, tetapi Allah-lah yang menggagas dan menyempurnakan kebaikan.

Penutup

Itsar pertama: akhlak mulia yang bisa dipraktikkan oleh siapa saja.
Itsar kedua: derajat para nabi dan para pewarisnya.
Itsar ketiga: derajat ma’rifat tertinggi, hanya dicapai oleh hati yang tenggelam dalam tauhid dan penyerahan total kepada Allah.

Baca juga: Kisah Itsar dari Para Salaf

 

—-

 

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Sabtu Pagi, 15-11-2025, 24 Jumadilawal 1447 H

Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal 

Artikel Rumaysho.Com

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button