Khutbah Hari Raya

Khutbah Idulfitri | Dunia ini Negeri Ujian dan Kesulitan

Ingatlah dunia ini negeri ujian dan kesulitan, tak lepas dari masalah hidup. Solusinya perhatikan pada naskah khutbah berikut ini.

 

 

 

 

Khutbah Pertama

اللهُ أَكْبَرُ،

(9x)

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ لَقَدْ جَاءَتْ رُسُلُ رَبِّنَا بِالْحَقِّ وَنُودُوا أَنْ تِلْكُمُ الْجَنَّةُ أُورِثْتُمُوهَا بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ

وَأَشْهَدُ أَن لاَّ إِلَهَ إِلاَّ الله وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اللّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى أٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالاَهُ أَمَّابَعْدُ؛

فَيَآ أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تَقْوَاهُ كَمَا قَالَ تَعَالَى:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

وَاعْلَمُوْا أَنَّ يَوْمَكُمْ هٰذَا يَوْمٌ عَظِيْمٌ، وَعِيْدٌ كَرِيْمٌ، أَحَلَّ اللهُ لَكُمْ فِيْهِ الطَّعَامَ، وَحَرَّمَ عَلَيْكُمْ فِيْهِ الصِّيَامَ، فَهُوَ يَوْمُ تَسْبِيْحٍ وَتَحْمِيْدٍ وَتَهْلِيْلٍ وَتَعْظِيْمٍ ، فَسَبِّحُوْا رَبَّكُمْ فِيْهِ وَعَظِّمُوْهُ وَتُوْبُوْا إِلَى اللهِ وَاسْتَغْفِرُوْهُ

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Ma’asyiral muslimin hafizhakumullah …

Marilah kita tingkatkan ketakwaan kita kepada Allah. Allah Ta’ala berfirman,

فَأَمَّا مَنْ أَعْطَىٰ وَٱتَّقَىٰ

fa ammā man a’ṭā wattaqā

Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa.” (QS. Al-Lail: 5), yaitu yang melakukan ibadah terkait harta seperti zakat, kafarat, dan nafkah. Lalu bertakwa dengan menjauhi yang dilarang oleh Allah.

وَصَدَّقَ بِٱلْحُسْنَىٰ

wa ṣaddaqa bil-ḥusnā

dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga).” (QS. Al-Lail: 6), yang membenarkan kalimat LAA ILAHA ILLALLAH dan memiliki akidah yang benar.

فَسَنُيَسِّرُهُۥ لِلْيُسْرَىٰ

fa sanuyassiruhụ lil-yusrā

maka Kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah.” (QS. Al-Lail: 7)

Shalawat dan salam semoga tercurah kepada Nabi mulia, suri tauladan kita yang mengajak kita untuk terus meningkatkan takwa dan mengajak kita berbahagia di hari Idulfitri ini, yaitu Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para sahabatnya.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah …

Negeri ini penuh dengan musibah dan ujian belakangan ini. Ada daerah di negeri yang terkena banjir parah menjelang Ramadhan berakhir. Namun, ada daerah yang hujannya turun, tetapi jarang-jarang sehingga hasil panen tak seperti yang diharapkan dan diimpikan. Ada juga yang mendapat ujian pada keluarganya sendiri. Suami ada yang sulit menghadapi istri yang sulit diatur. Ada juga istri yang menghadapi suami yang tidak mau memberikan nafkah lahir dan batin. Ada juga orang tua yang menghadapi anak yang durhaka dan suka membantah. Ada juga menantu yang terus bermasalah dengan mertua. Ada juga yang mengalami kesulitan ekonomi, terlilit utang yang sangat sulit untuk dilunasi sampai tak ada lagi aset untuk menutupi utangnya. Ada juga yang menderita penyakit yang tak kunjung sembuh bertahun-tahun.

Itulah hidup di dunia, tak lepas dari ujian dan kesulitan. Kalau ingin hidup penuh keselamatan, ketenangan, dan kebahagiaan, itu hanyalah didapati di surga.

Coba jamaah shalat Id sekalian merenungkan ayat berikut ini di mana sebelumnya diawali sumpah oleh Allah dengan menyebut kota Makkah, Nabi Adam, dan keturunannya. Allah Ta’ala berfirman,

لَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ فِى كَبَدٍ

laqad khalaqnal-insāna fī kabad

Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.” (QS. Al-Balad: 4)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan, “Manusia itu menderita kesulitan di dunia, di alam barzakh (alam kubur), dan pada hari kiamat saat setiap amal akan disaksikan.”

Lantas Syaikh As-Sa’di rahimahullah berkata, “Untuk selamat dari berbagai kesulitan di dunia dan alam akhirat, solusinya adalah BERUSAHA BERAMAL SALEH. Jika amal saleh ini tidak dilakukan, maka kesulitan tetap akan dirasakan terus menerus.” (Tafsir As-Sa’di, hlm. 971)

Maka benarlah manusia terus berada dalam kesulitan. Kenyamanan dan kebahagiaan hanyalah didapati ketika berada di surga. Inilah yang dikatakan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah,

فَإِنَّ الإِنْسَانَ مَخْلُوْقٌ فِي شِدَّةٍ بِكَوْنِهِ فِي الرَّحِمِ، ثُمَّ فِي القَمَاط وَالرَّبَاطِ، ثُمَّ هُوَ عَلَى خَطْرٍ عَظِيْمٍ عِنْدَ بُلُوْغِهِ حَالَ التَّكْلِيْفِ وَمُكَابَدَةِ المَعِيْشَةِ وَالأَمْرِ وَالنَّهْيِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِِ المَوْتِ وَمَا بَعْدَهُ فِي البَرْزَخِ وَمَوْقِفِ القِيَامَةِ، ثُمَّ مُكَابَدَةِ العَذَابِ فِي النَّارِ، وَلاَ رَاحَةَ لَهُ إِلَّا فِي الجَنَّةِ

“Manusia diciptakan dalam keadaan susah payah ketika di dalam rahim ibunya dan ketika berada pada keadaan di tali bedungnya (di buaian ibunya). Ia juga mendapatkan masalah hidup tatkala mencapai usia baligh (dewasa) dan ketika dikenakan beban syariat. Kemudian ia berada pada kesusahan dalam menjalani kehidupan, juga dalam menghadapi perintah dan larangan. Kemudian berada pada susahnya kematian dan kejadian setelahnya di alam kuburnya dan situasi hari kiamat. Kemudian ia berada pada susahnya siksaan api neraka. KITA TIDAK ADA WAKTU UNTUK REHAT MELAINKAN KETIKA SUDAH MASUK SURGA.” (At-Tibyan fii Aqsam Al-Qur’an, hlm. 34-35)

Jalan selamat dari berbagai kesulitan ini disebutkan dalam ayat selanjutnya dari surah Al-Balad.

فَلَا ٱقْتَحَمَ ٱلْعَقَبَةَ

fa laqtaḥamal-‘aqabah

Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (QS. Al-Balad: 11)

وَمَآ أَدْرَىٰكَ مَا ٱلْعَقَبَةُ

wa mā adrāka mal-‘aqabah

Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. Al-Balad: 12)

فَكُّ رَقَبَةٍ

fakku raqabah

 “(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al-Balad: 13)

أَوْ إِطْعَٰمٌ فِى يَوْمٍ ذِى مَسْغَبَةٍ

au iṭ’āmun fī yaumin żī masgabah

atau memberi makan pada hari kelaparan.” (QS. Al-Balad: 14), di mana orang sangat butuh untuk makan.

يَتِيمًا ذَا مَقْرَبَةٍ

yatīman żā maqrabah

(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat.” (QS. Al-Balad: 15)

أَوْ مِسْكِينًا ذَا مَتْرَبَةٍ

au miskīnan żā matrabah

atau kepada orang miskin yang sangat fakir.” (QS. Al-Balad: 16)

Lihatlah ayat-ayat di atas menerangkan bahwa selamat dari kesulitan (kesukaran) dengan: (1) membebaskan budak, (2) memberikan makan di saat orang-orang butuh dengan memberi makan kepada anak yatim yang masih ada hubungan kerabat dan orang miskin yang memang sangat memerlukan.

Kemudian ditambahkan lagi pada ayat selanjutnya.

ثُمَّ كَانَ مِنَ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلصَّبْرِ وَتَوَاصَوْا۟ بِٱلْمَرْحَمَةِ

ṡumma kāna minallażīna āmanụ wa tawāṣau biṣ-ṣabri wa tawāṣau bil-mar-ḥamah

Dan dia (juga) termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang.” (QS. Al-Balad: 17)

أُو۟لَٰٓئِكَ أَصْحَٰبُ ٱلْمَيْمَنَةِ

ulā`ika aṣ-ḥābul-maimanah

Mereka (orang-orang yang beriman dan saling berpesan itu) adalah golongan kanan.” (QS. Al-Balad: 17)

Kesimpulannya, untuk selamat dari jalan kesulitan adalah dengan:

  • beriman,
  • beramal saleh,
  • bersabar dalam ketaatan, bersabar dalam menjauhi maksiat, bersabar dalam menghadapi takdir yang tidak menyenangkan,
  • saling menasihati dalam berkasih sayang, yaitu dengan memberi pada orang yang butuh, mengajarkan ilmu pada yang belum tahu, dan membantu orang-orang yang membutuhkan dengan berbagai macam cara, membantu urusan dunia dan akhirat, mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri.

Itulah yang disebut dengan GOLONGAN KANAN yang meraih kebahagiaan, di mana ia menjalankan perintah terkait dengan hak Allah dan hak sesama, serta menjauhi larangan. (Tafsir As-Sa’di, hlm. 972)

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah …

Yang jadi masalah adalah kita terus tertimpa masalah hidup, tetapi kita sendiri tidak mau koreksi diri.

  • Iman kita begitu lemah dan tak mau meningkatkan keimanan.
  • Amal saleh kita masih kurang di saat maksiat terus rutin. Lihat saja shalat sebagian jamaah kita hanya semangat di bulan Ramadhan, bakda Ramadhan sudah tak ada lagi shalat.
  • Sabar kita begitu kurang, apalagi dalam menghadapi musibah atau saat disakiti orang lain.
  • Kita juga kurang berkasih sayang dengan orang lain, menjadi orang pelit (enggan mengeluarkan harta dalam memenuhi kewajiban), tetapi kita terus mengejar harta yang membuat kita lalai pada ibadah.

Kita jadi orang yang terlena pada dunia dan terus berbangga-bangga dengannya sebagaimana yang disebutkan dalam ayat,

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ (1) حَتَّى زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ (2)

Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At Takatsur: 1-2). Hal ini pun kita malas koreksi.

Jika kita memiliki masalah hidup, adukanlah kepada Allah dengan terlebih dahulu mengoreksi diri.

Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitab Al-Fawaid berkata, “Orang arif atau cerdas adalah yang mengeluhkan kekurangan dirinya sendiri kepada Allah (ketika menghadapi masalah hidup). Ia mengadukan keadaan dirinya yang jelek kepada Allah, ia bukan mengeluhkan keadaan orang lain yang telah menyakitinya. Ia hanya menilai bahwa perlakuan jelek orang lain padanya adalah lantaran kesalahan dirinya sendiri. Hal ini sama dengan kandungan firman Allah,

‎وَمَآ أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ ۚ 

Dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. An-Nisaa: 79)

Juga firman Allah,

‎أَوَلَمَّآ أَصَٰبَتْكُم مُّصِيبَةٌ قَدْ أَصَبْتُم مِّثْلَيْهَا قُلْتُمْ أَنَّىٰ هَٰذَا ۖ قُلْ هُوَ مِنْ عِندِ أَنفُسِكُمْ ۗ 

Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada peperangan Badar), kamu berkata: “Darimana datangnya (kekalahan) ini?” Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri.” (QS. Ali Imran: 165)

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah …

Sampai Ramadhan berakhir, sebagian kita masih tak sadar ibadah. Tak sedikit yang kami lihat semangat shalat Idulfitri hari ini, tetapi keseharian saat Ramadhan makan bebas di jalan dan tak peduli pada puasa, juga tak menghormati orang yang berpuasa. Itulah mengapa masalah hidup kita tak pernah usai karena kesalahan diri kita sendiri.

Solusi utama adalah mengoreksi diri atas dosa dan kesalahan, kemudian memperbaikinya dengan BERTAUBAT NASHUHA serta jadi lebih baik bakda Ramadhan dan seterusnya.

اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ الحَمْدُ

Para jama’ah shalat Idulfitri rahimani wa rahimakumullah …

Hari Idulfitri itu seharusnya untuk orang yang bertambah taat, bukan orang yang malas-malasan ibadah lantas merayakannya. Dalam kitab Lathaif Al-Ma’arif, hlm. 484, Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan,

‎لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجدِيْد إِنَّماَ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَاتُهُ تَزِيْد

‎لَيْسَ الْعِيْد لِمَنْ تَجَمَّلَ بِاللِّبَاسِ وَالرُّكُوْبِ إِنَّمَا العِيْدُ لِمَنْ غُفِرَتْ لَهُ الذُّنُوْب

“Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian baru tanpa cacat, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang semakin bertambah ibadah dan taat.  Hari raya Id tidak diperuntukkan bagi orang yang bagus pakaian dan kendaraannya, hari raya Id diperuntukkan bagi orang yang diampuni dosa-dosanya.”

Seharusnya kebaikan itu berlanjut lagi dengan kebaikan bakda Ramadhan.

‎مِنْ ثَوَابِ الحَسَنَةِ الحَسَنَةُ بَعْدَهَا

“Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya.” (Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim, 7:583).

Dari sini, bakda Ramadhan, lanjutkan lagi ibadah yang wajib dengan terus dijaga rutin. Ibadah shalat tarawih bisa dilanjutkan dengan ibadah shalat malam, yaitu shalat tahajud dan shalat witir. Witir pun paling ringan bisa satu rakaat bakda Isyak. Sedangkan ibadah puasa Ramadhan bisa dilanjutkan dengan puasa enam hari Syawal agar mendapatkan pahala puasa setahun penuh.

Semoga Allah menerima amalan kita semuanya di bulan Ramadhan dan kita diperpanjang umur oleh Allah untuk diperjumpakan dengan bulan Ramadhan berikutnya.

أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ

Khutbah Kedua

اَللهُ أَكْبَرُ
(7x)

اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ.

فَيَاعِبَادَ اللهِ اِتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ

قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِيْ كِتَابِهِ اْلعَظِيْمِ “إِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِيِّ, يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ أَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا”.

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ. وَبَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ، إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ

اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ

اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنَ العَجْزِ وَالكَسَلِ ، والبُخْلِ والهَرَمِ ، وَعَذَابِ القَبْرِ ، اللَّهُمَّ آتِ نُفُوْسَنَا تَقْوَاهَا ، وَزَكِّها أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا ، أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلاَهَا ، اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لا يَنْفَعُ؛ وَمِنْ قَلْبٍ لاَ يَخْشَعُ ، وَمِنْ نَفْسٍ لاَ تَشْبَعُ ؛ وَمِنْ دَعْوَةٍ لاَ يُسْتَجَابُ لَهَا

اللَّهُمَّ اكْفِنَا بِحَلاَلِكَ عَنْ حَرَامِكَ وَأَغْنِنَا بِفَضْلِكَ عَمَّنْ سِوَاكَ

اللَّهُمَّ إنَّا نَعُوْذُ بِكَ مِنْ زَوَالِ نِعْمَتِكَ وَتَحَوُّلِ عَافِيَتِكَ وَفُجَاءَةِ نِقْمَتِكَ وَجَمِيعِ سَخَطِكَ

يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

يَا مُقَلِّبَ القُلُوْبِ ثَبِّتْ قُلُوْبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

اللَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ رِضَاكَ وَالجَنَّةَ وَنَعُوْذُ بِكَ مِنْ سَخَطِكَ وَالنَّارِ،

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا

اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّا

رَبَّنَا تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَاوَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ

اللّهُمَّ وَلِّ عَلَيْنَا خِيَارَنا وَلَا تُوَلِّ عَلَيْنا شِرَارَنا.

اللَّهُمَّ لَا تُسَلِّطْ عَلَيْنَا بِذُنُوْبِنَا مَنْ لَا يَخَافُكَ فِيْنَا وَلَا يَرْحَمُنَا

اللهمّ أحْسِنْ عَاقِبَتَنَا فِي الأُمُورِ كُلِّهَا، وَأجِرْنَا مِنْ خِزْيِ الدُّنْيَا وَعَذَابِ الآخِرَةِ

رَبَنَا ءَاتِنَا فِي الدّنْيَا حَسَنَةً وَفِي اْلأَخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النّارِ.

 

Taqobbalallahu minna wa minkum, shalihal a’maal, kullu ‘aamin wa antum bi khairin.

Wassalaamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuh.

 

Silakan Unduh Khutbah Idulfitri 1445 H | Dunia Ini Negeri Ujian dan Kesulitan

 

Aturan Khutbah Idulfitri

1. Khutbah Idulfitri adalah sunnah setelah shalat Id.

2. Khutbah Idulfitri ada dua kali khutbah. Rukun dan sunnahnya sama dengan khutbah Jumat.

3. Disunnahkan khutbah dengan mimbar, boleh juga berkhutbah dengan duduk.

4. Khutbah pertama diawali dengan sembilan kali takbir. Khutbah kedua diawali dengan tujuh kali takbir.

5. Rukun khutbatain (dua khutbah) ada 5, yaitu [1] memuji Allah pada kedua khutbah, [2] bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada dua khutbah, [3] berwasiat takwa pada kedua khutbah, [4] membaca ayat Al-Qur’an di salah satu keduanya, dan [5] mendoakan orang-orang beriman lelaki dan peremuan di khutbah terakhir.

6. Jamaah disunnahkan mendengarkan khutbah. Namun, mendengarkan khutbah Idulfitri bukanlah syarat sahnya shalat Id.

Lihat Al-Mu’tamad fii Al-Fiqh Asy-Syafii, 1:555-556. Lihat pula Kifayah Al-Akhyar, hlm. 200.

Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2023:

“Jaga Hati, Jangan Lalai Bakda Ramadhan”

 

Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2022:

“Realisasi Syukur Bakda Ramadhan”

 

Silakan Unduh Naskah Khutbah Idulfitri 2021:

“Berbuka Ketika Berjumpa dengan Allah”

 

 

Referensi:

  • Tafsir As-Sa’di. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di. Penerbit Muassasah Ar-Risalah.
  • Fawaid Al-Fawaid yang ditahqiq oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari, hlm 378, Penerbit Daar Ibn Al-Jauzi.
  • Lathoif Al Ma’arif fii Maa Limawasimil ‘Aam minal Wazhoif. Cetakan pertama, Tahun 1428 H. Ibnu Rajab Al Hambali. Penerbit Al Maktab Al Islami.

 

@ Darush Sholihin Panggang Gunungkidul

29 Ramadhan 1445 H, Selasa sore

Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button