Menggabungkan Puasa Syawal dan Puasa Senin Kamis
Kita sudah mengetahui mengenai keutamaan puasa Syawal, yaitu bagi siapa yang menunaikan puasa Ramadhan diikuti puasa enam hari di bulan Syawal, maka ia seakan mendapatkan pahala puasa setahun penuh.
Dari Abu Ayyub Al-Anshari, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Tetapi barangkali ada yang punya kebiasaan puasa Senin Kamis atau puasa Daud. Lalu apakah diperbolehkan ia niatkan dua puasa sekaligus?
Berikut ada keterangan dari Syaikh Muhammad bin Rosyid Al Ghofili. Beliau hafizhohullah berkata,
“Ada sebagian orang yang melakukan puasa enam hari di bulan Syawal sekaligus berniat puasa senin kamis karena itulah hari kebiasaan puasanya. Yang ia harapkan adalah pahala kedua puasa tersebut. Dan ini adalah pendapat sebagian ulama yang dianggap sebagai ijtihad mereka. Namun yang jelas ijtihad ini adalah ijtihad yang keliru. Yang benar, tidak bisa diperoleh pahala puasa Syawal dan puasa senin kamis sekaligus. Karena puasa enam hari di bulan Syawal punya keutamaan tersendiri dan puasa senin kamis punya keutamaan tersendiri.
Begitu pula contoh lainnya, siapa yang menjadikan puasa enam hari di bulan Syawal satu niat dengan puasa ayyamul biid (puasa pada tanggal 13, 14, dan 15 hijriyah). … Penggabungan niat seperti ini adalah pendapat yang tidak benar dan tidak ada dasarnya karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang mengada-adakan suatu perkara dalam urusan agama kami yang tidak ada dasarnya, maka amalan tersebut tertolak” (Muttafaqun ‘alaih). Ibadah itu sudah paten baik ibadah yang sunnah maupun yang wajib. Ibadah itu masuk dalam hukum syar’i, artinya harus ada dalil yang membenarkannya. Sehingga tidak boleh bagi seseorang beribadah kepada Allah Ta’ala kecuali dengan dalil yang benar-benar tegas, yang tidak ada keraguan di dalamnya.”
Demikian penjelasan Syaikh Muhammad bin Rosyid dalam kitabnya Ahkam Maa Ba’da Shiyam, hal. 169.
Bahasan di atas sudah diperbaiki dalam tulisan: Puasa Syawal Digabung dengan Puasa Ayyamul Bidh
Bisa juga membaca tulisan paling baru:
Ternyata Dapat Dua Pahala, Puasa Syawal Digabungkan dengan Puasa Senin Kamis
Wallahu waliyyut taufiq.
—
Panggang-Gunung Kidul, 6 Syawal 1432 H (05/09/2011)
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
mana yg hrs didahulukan puasa syawal atau membayar utang puasa mohon dasar atau dalil yg shohih terima kasih
Kalau ada orang yang berpuasa Syawal dan ingin menggabungnya dengan qadha puasa Ramadhan,
atau dengan puasa Senin Kamis, atau tiga hari dalam sebulan, bagaimana
hukumnya?! Menjawab masalah ini, hendaknya kita mengetahui terlebih
dahulu sebuah kaidah berharga yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah,
yaitu “Apabila Ia berkumpul dua ibadah satu jenis dalam satu waktu,
salah satunya bukan karena qadha (mengganti) atau mengikut pada ibadah
lainnya, maka dua ibadah tersebut bisa digabung jadi satu.”
Jadi, menggabung beberapa ibadah menjadi satu itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama:
Tidak mungkin digabung, yaitu apabila ibadah tersebut merupakan ibadah
tersendiri atau mengikuti kepada ibadah lainnya, maka disini tidak
mungkin digabung.
Contoh:
Seseorang ketinggalan Shalat Sunnah
Fajar sampai terbit matahari dan datang waktu Shalat Dhuha, di sini
tidak bisa digabung antara Shalat Sunnah Fajar dan Shalat Dhuha, karena
Shalat Sunnah Fajar adalah ibadah tersendiri dan Shalat Dhuha juga
ibadah tersendiri.
Seorang Shalat Fajar dengan niat untuk Shalat
Sunnah Rawatib dan Shalat Fardhu, maka tidak bisa, karena shalat Sunnah
Rawatib adalah mengikut kepada Shalat Fardhu.
Kedua: Bisa untuk
digabung, yaitu kalau maksud dari ibadah tersebut hanya sekadar adanya
perbuatan tersebut, bukan ibadah tersendiri, maka di sini bisa untuk
digabung.
Contoh:
Seorang masuk masjid dan menjumpai manusia
sedang melakukan Shalat Fajar, maka dia ikut shalat dengan niat Shalat
Fajar dan Tahiyyatul Masjid, maka boleh karena Tahiyyatul Masjid
bukanlah ibadah tersendiri (Liqa’ Bab Maftuh, Ibnu Utsaimin, hal. 20. Lihat penjelasan tentang kaidah ini dan contoh-contohnya secara panjang dalam Taqrir Qowa’id, Ibnu Rajab, 1/142-158).
Nah, dari sini dapat kita simpulkan bahwa kalau seorang menggabung puasa Syawal
dengan meng-qadha puasa Ramadhan, maka hukumnya tidak boleh karena
puasa Syawwal di sini mengikut kepada puasa Ramadhan. Namun, apabila
seseorang menggabung puasa Syawwal dengan puasa tiga hari dalam sebulan,
puasa Dawud, Senin Kamis maka hukumnya boleh. Wallahu A’lam.
Demikianlah beberapa pembahasan yang dapat kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.
Sumber: Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyah, Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi, Abu Abdillah Syahrul Fatwa, Pustaka Darul Ilmi
Kalau ada orang yang berpuasa Syawal dan ingin menggabungnya dengan qadha puasa Ramadhan,
atau dengan puasa Senin Kamis, atau tiga hari dalam sebulan, bagaimana
hukumnya?! Menjawab masalah ini, hendaknya kita mengetahui terlebih
dahulu sebuah kaidah berharga yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah,
yaitu “Apabila Ia berkumpul dua ibadah satu jenis dalam satu waktu,
salah satunya bukan karena qadha (mengganti) atau mengikut pada ibadah
lainnya, maka dua ibadah tersebut bisa digabung jadi satu.”
Jadi, menggabung beberapa ibadah menjadi satu itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama:
Tidak mungkin digabung, yaitu apabila ibadah tersebut merupakan ibadah
tersendiri atau mengikuti kepada ibadah lainnya, maka disini tidak
mungkin digabung.
Contoh:
Seseorang ketinggalan Shalat Sunnah
Fajar sampai terbit matahari dan datang waktu Shalat Dhuha, di sini
tidak bisa digabung antara Shalat Sunnah Fajar dan Shalat Dhuha, karena
Shalat Sunnah Fajar adalah ibadah tersendiri dan Shalat Dhuha juga
ibadah tersendiri.
Seorang Shalat Fajar dengan niat untuk Shalat
Sunnah Rawatib dan Shalat Fardhu, maka tidak bisa, karena shalat Sunnah
Rawatib adalah mengikut kepada Shalat Fardhu.
Kedua: Bisa untuk
digabung, yaitu kalau maksud dari ibadah tersebut hanya sekadar adanya
perbuatan tersebut, bukan ibadah tersendiri, maka di sini bisa untuk
digabung.
Contoh:
Seorang masuk masjid dan menjumpai manusia
sedang melakukan Shalat Fajar, maka dia ikut shalat dengan niat Shalat
Fajar dan Tahiyyatul Masjid, maka boleh karena Tahiyyatul Masjid
bukanlah ibadah tersendiri (Liqa’ Bab Maftuh, Ibnu Utsaimin, hal. 20. Lihat penjelasan tentang kaidah ini dan contoh-contohnya secara panjang dalam Taqrir Qowa’id, Ibnu Rajab, 1/142-158).
Nah, dari sini dapat kita simpulkan bahwa kalau seorang menggabung puasa Syawal
dengan meng-qadha puasa Ramadhan, maka hukumnya tidak boleh karena
puasa Syawwal di sini mengikut kepada puasa Ramadhan. Namun, apabila
seseorang menggabung puasa Syawwal dengan puasa tiga hari dalam sebulan,
puasa Dawud, Senin Kamis maka hukumnya boleh. Wallahu A’lam.
Demikianlah beberapa pembahasan yang dapat kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.
Sumber: Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyah, Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi, Abu Abdillah Syahrul Fatwa, Pustaka Darul Ilmi
maaf makds dr contoh kedua apa ya …”ibadah trsbt sekedar adanya perbutan trsbt, bkn ibadah sendiri … mhn penjelasannya… o ya jd klo kita mau puasa kodo walaupun dijalan kan pd hr2 yg sunah seperti senin – kemis, puasa haji, puasa muharram itu pahala sunahnya gak dpt ya…tp yg wajib tetep dpt atau bagaimn ..? soalnya guru ak pernah bilang bsk puasa ya hr tasuah & asuro klo yg msh punya hutang dibuln romadhon blh digabung… jd pahala puasa’a dpt dua2nya sunah dpt dan yg wajibnya jg dpt …bener atau tidak ya…
Kalau ada orang yang berpuasa Syawal dan ingin menggabungnya dengan qadha puasa Ramadhan,
atau dengan puasa Senin Kamis, atau tiga hari dalam sebulan, bagaimana
hukumnya?! Menjawab masalah ini, hendaknya kita mengetahui terlebih
dahulu sebuah kaidah berharga yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah,
yaitu “Apabila Ia berkumpul dua ibadah satu jenis dalam satu waktu,
salah satunya bukan karena qadha (mengganti) atau mengikut pada ibadah
lainnya, maka dua ibadah tersebut bisa digabung jadi satu.”
Jadi, menggabung beberapa ibadah menjadi satu itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama:
Tidak mungkin digabung, yaitu apabila ibadah tersebut merupakan ibadah
tersendiri atau mengikuti kepada ibadah lainnya, maka disini tidak
mungkin digabung.
Contoh:
Seseorang ketinggalan Shalat Sunnah
Fajar sampai terbit matahari dan datang waktu Shalat Dhuha, di sini
tidak bisa digabung antara Shalat Sunnah Fajar dan Shalat Dhuha, karena
Shalat Sunnah Fajar adalah ibadah tersendiri dan Shalat Dhuha juga
ibadah tersendiri.
Seorang Shalat Fajar dengan niat untuk Shalat
Sunnah Rawatib dan Shalat Fardhu, maka tidak bisa, karena shalat Sunnah
Rawatib adalah mengikut kepada Shalat Fardhu.
Kedua: Bisa untuk
digabung, yaitu kalau maksud dari ibadah tersebut hanya sekadar adanya
perbuatan tersebut, bukan ibadah tersendiri, maka di sini bisa untuk
digabung.
Contoh:
Seorang masuk masjid dan menjumpai manusia
sedang melakukan Shalat Fajar, maka dia ikut shalat dengan niat Shalat
Fajar dan Tahiyyatul Masjid, maka boleh karena Tahiyyatul Masjid
bukanlah ibadah tersendiri (Liqa’ Bab Maftuh, Ibnu Utsaimin, hal. 20. Lihat penjelasan tentang kaidah ini dan contoh-contohnya secara panjang dalam Taqrir Qowa’id, Ibnu Rajab, 1/142-158).
Nah, dari sini dapat kita simpulkan bahwa kalau seorang menggabung puasa Syawal
dengan meng-qadha puasa Ramadhan, maka hukumnya tidak boleh karena
puasa Syawwal di sini mengikut kepada puasa Ramadhan. Namun, apabila
seseorang menggabung puasa Syawwal dengan puasa tiga hari dalam sebulan,
puasa Dawud, Senin Kamis maka hukumnya boleh. Wallahu A’lam.
Demikianlah beberapa pembahasan yang dapat kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.
Sumber: Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyah, Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi, Abu Abdillah Syahrul Fatwa, Pustaka Darul Ilmi
pendapat ustadz berbeda dengan pendapat ustadz Abu Ubaidah.
Kalau ada orang yang berpuasa Syawal dan ingin menggabungnya dengan qadha puasa Ramadhan,
atau dengan puasa Senin Kamis, atau tiga hari dalam sebulan, bagaimana
hukumnya?! Menjawab masalah ini, hendaknya kita mengetahui terlebih
dahulu sebuah kaidah berharga yang disebutkan oleh al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah,
yaitu “Apabila Ia berkumpul dua ibadah satu jenis dalam satu waktu,
salah satunya bukan karena qadha (mengganti) atau mengikut pada ibadah
lainnya, maka dua ibadah tersebut bisa digabung jadi satu.”
Jadi, menggabung beberapa ibadah menjadi satu itu terbagi menjadi dua macam:
Pertama:
Tidak mungkin digabung, yaitu apabila ibadah tersebut merupakan ibadah
tersendiri atau mengikuti kepada ibadah lainnya, maka disini tidak
mungkin digabung.
Contoh:
Seseorang ketinggalan Shalat Sunnah
Fajar sampai terbit matahari dan datang waktu Shalat Dhuha, di sini
tidak bisa digabung antara Shalat Sunnah Fajar dan Shalat Dhuha, karena
Shalat Sunnah Fajar adalah ibadah tersendiri dan Shalat Dhuha juga
ibadah tersendiri.
Seorang Shalat Fajar dengan niat untuk Shalat
Sunnah Rawatib dan Shalat Fardhu, maka tidak bisa, karena shalat Sunnah
Rawatib adalah mengikut kepada Shalat Fardhu.
Kedua: Bisa untuk
digabung, yaitu kalau maksud dari ibadah tersebut hanya sekadar adanya
perbuatan tersebut, bukan ibadah tersendiri, maka di sini bisa untuk
digabung.
Contoh:
Seorang masuk masjid dan menjumpai manusia
sedang melakukan Shalat Fajar, maka dia ikut shalat dengan niat Shalat
Fajar dan Tahiyyatul Masjid, maka boleh karena Tahiyyatul Masjid
bukanlah ibadah tersendiri (Liqa’ Bab Maftuh, Ibnu Utsaimin, hal. 20. Lihat penjelasan tentang kaidah ini dan contoh-contohnya secara panjang dalam Taqrir Qowa’id, Ibnu Rajab, 1/142-158).
Nah, dari sini dapat kita simpulkan bahwa kalau seorang menggabung puasa Syawal
dengan meng-qadha puasa Ramadhan, maka hukumnya tidak boleh karena
puasa Syawwal di sini mengikut kepada puasa Ramadhan. Namun, apabila
seseorang menggabung puasa Syawwal dengan puasa tiga hari dalam sebulan,
puasa Dawud, Senin Kamis maka hukumnya boleh. Wallahu A’lam.
Demikianlah beberapa pembahasan yang dapat kami ketengahkan. Semoga bermanfaat.
Sumber: Ensiklopedi Amalan Sunnah di Bulan Hijriyah, Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi, Abu Abdillah Syahrul Fatwa, Pustaka Darul Ilmi