Fikih Terkait Waria
Terkait waria, kita mesti mengenal istilah mukhannats. Mukhannats adalah laki-laki yang bergaya dan bersuara seperti perempuan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa mukhannats ada dua jenis:
- Yang secara tabi’at dilahirkan bergaya seperti wanita, suaranya pun demikian.
- Yang dibuat-buat gaya dan cara bicaranya sehingga menyerupai wanita.
Yang pertama, tidak tercela dalam hadits. Namun yang kedua itulah yang tercela.
Ada beberapa hukum yang terkait dengan mukhannats tersebut:
Pertama, terkait kesaksian
Ulama Hanafiyah menyatakan bahwa untuk mukhannatas yang dibuat-buat, sengaja bergaya seperti perempuan, persaksiannya tidak diterima. Karena mukhannatas semacam ini adalah pelaku maksiat.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَعَنَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – الْمُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ ، وَالْمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ وَقَالَ « أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ » . قَالَ فَأَخْرَجَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فُلاَنًا ، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا
“Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pria yang bergaya seperti wanita dan wanita yang bergaya seperti pria.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Keluarkanlah mereka dari rumah-rumah kalian.”
Ibnu ‘Abbas katakan, “Nabi pernah mengeluarkan orang yang seperti itu. Demikian halnya dengan ‘Umar.” (HR. Bukhari, no. 5886).
Adapun yang secara asal ia tercipta seperti itu, dan ia tidak terkenal dengan hal-hal yang jelek, persaksiannya diterima.
Kedua, terkait memandang yang bukan mahram
Sebagian fuqaha menegaskan bahwa laki-laki yang sengaja meniru wanita (mukhannats), maka ia dilarang memandang wanita yang bukan mahramnya.
Ketiga, terkait jadi makmum di belakang
Untuk shalat di belakang mukhannats juga masih terlarang kecuali karena alasan darurat. Namun untuk mukhannats yang secara biologis lahir seperti itu dan tidak ia buat-buat gaya seperti perempuan, maka tidak masalah shalat di belakangnya.
Keempat, terkait hukuman untuk waria
Ulama Hanafiyah berpendapat, mukhannats hendaklah dita’zir (diberi hukuman dari seorang hakim, pen.) dan dipenjaran sampai ia mau bertaubat yaitu kembali sesuai kodratnya semula.
Referensi:
Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah. Penerbit Kementrian Agama Kuwait.
—
@ Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, Selasa menjelang Ashar, 7 Jumadal Ula 1437 H
Oleh Al-Faqir Ila Maghfirati Rabbihi: Muhammad Abduh Tuasikal
Rumaysho.Com, Channel Telegram @RumayshoCom, @DarushSholihin, @UntaianNasihat, @RemajaIslam