Hadiah di Hari Lahir (14): Pakai Nama Asli atau Nama Kunyah?
Kalau ingin kenalan dengan orang lain, baiknya menggunakan nama asli ataukah nama kunyah? Nama kunyah adalah nama dengan Abu atau Ummu. Contoh: Abu Sufyan, Ummu Abdillah.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Yang sesuai dengan adab, janganlah seseorang menyebut nama kunyah (dengan Abu atau Ummu, pen.) dalam tulisan atau di keadaan lainnya. Hanya dibolehkan jika ia memang hanya dikenal dengan nama kunyah atau sudah tersohor dengan nama tersebut.
Dalam Shahihain, dari Ummu Hani, nama aslinya Fakhitah. Ada juga yang menyebut bahwa nama aslinya adalah Fatimah, ada juga yang menyebut Hindun. Ia berkata, “Aku pernah mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu beliau bertanya, “Siapa ini?” Aku menjawab, “Aku Ummu Hani.”
Dalam Shahihain, dari Abu Dzar, nama aslinya adalah Jundub. Ia berkata, “Aku pernah berjalan di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di bawah bayangan rembulan. Lalu beliau menoleh kemudian melihatku dan bertanya, “Siapa ini?” Jawabku, “Abu Dzar.”
Dalam Shahih Muslim, dari Abu Qatadah, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan padanya, “Siapa ini?” Jawabku, “Abu Qatadah.”
Dalam Shahih Muslim pula, dari Abu Hurairah, ia berkata pada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah berdo’alah pada Allah supaya memberikan petunjuk pada ibu dari Abu Hurairah.”
Contoh nama-nama yang sudah sangat terkenal dengan nama kunyah seperti di atas banyak sekali. Wallahu a’lam. (Al-Majmu’, 8: 256)
Kesimpulannya, kalau sudah dikenal oleh orang-orang dengan nama asli, maka pakailah nama asli saat kenalan. Janganlah sesuatu yang sudah dikenal disamarkan dengan sesuatu yang belum jelas. Kecuali kalau memang yang ma’rufnya dikenal dengan nama kunyah, bukan nama asli. Atau pilihan lain adalah gunakan nama kunyah dengan berbarengan menyebut nama asli, seperti Abu Rumaysho Muhammad Abduh Tuasikal.
Wallahu a’lam bish shawwab. Wallahu waliyyut taufiq.
Referensi:
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab li Asy-Syairazy. Cetakan kedua, tahun 1427 H. Yahya bin Syarf An-Nawawi. Penerbit Dar ‘Alam Al-Kutub.
—
Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 27 Dzulqa’dah 1436 H