Mahar Nikah Berupa Hafalan Al Quran
Bolehkah mahar nikah berupa hafalan Al Quran ataukah muroja’ah hafalan 30 juz sebagaimana dilakukan oleh hafizh dan hafizhah? Karena ada yang menikah cuma sekedar membacakan surat Al Mulk dan itu sengaja dijadikan mahar. Ada juga yang menikah dengan menyetor hafalan 30 juz pada seorang hafizhah. Bolehkah seperti itu?
Yang perlu dipahami pertama kali, mahar adalah hak istri. Allah mewajibkan bagi pria yang ingin menikah untuk memenuhi mahar nikah. Allah Ta’ala berfirman,
وَآَتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan” (QS. An Nisa’: 4).
Mahar itu bisa berupa barang atau bisa berupa jasa. Berupa barang misalnya adalah emas. Berupa jasa misalnya pengajaran Al Qur’an.
Bagaimana Jika Mahar Berupa Hafalan Al Qur’an?
Misalnya wanita meminta sebagai mahar adalah hafalan surat Al Mulk. Bolehkah itu?
Dalam kitab Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah 17: 324 disebutkan perselisihan para ulama mengenai masalah ini.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah dalam pendapat mereka yang masyhur, juga salah satu pendapat dari Imam Ahmad, menyatakan tidak bolehnya menjadikan hafalan Al Qur’an sebagai mahar untuk perempuan. Karena kemaluan wanita barulah halal jika mahar berupa harta. Allah Ta’ala berfirman,
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ أَنْ تَبْتَغُوا بِأَمْوَالِكُمْ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ
“Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina” (QS. An Nisa’: 24). Begitu pula hafalan Qur’an hanya jadi bentuk taqarrub (ibadah) bagi yang menghafalkannya.
Ulama Syafi’iyah, sebagian pendapat ulama Malikiyah yang menyelisihi pendapat yang masyhur, mereka menyatakan bolehnya menjadikan hafalan Qur’an sebagai mahar bagi perempuan. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menikahkan seorang wanita dengan pria dengan mahar hafalan Al Qur’an yang ia miliki.
Punya Mahar Hanya Hafalan Al Qur’an
Hadis yang dimaksud adalah dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang wanita yang menawarkan untuk dinikahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau tidak tertarik dengannya. Hingga ada salah seorang lelaki yang hadir dalam majelis tersebut meminta agar beliau menikahkannya dengan wanita tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,
هَلْ عِنْدَكَ مِنْ شَيْءٍ؟ قَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ. فَقالَ: اذْهَبْ إِلَى أَهْلِكَ، فَانْظُرْ هَلْ تَجِدُ شَيْئًا. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، مَا وَجَدْتُ شَيْئًا. فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ : انْظُرْ وَلَوْ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ. فَذَهَبَ ثُمَّ رَجَعَ، فَقَالَ: لاَ وَاللهِ، يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ خَاتَماً مِنْ حَدِيْدٍ، وَلَكِنْ هَذَا إِزَارِي فَلَهَا نِصْفُهُ. فَقاَلَ رَسُوْلُ اللهِ : مَا تَصْنَعُ بِإِزَارِكَ، إِنْ لَبِسْتَهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْهَا مِنْهُ شَيْءٌ، وَإِنْ لَبِسَتْهُ لَمْ يَكُنْ عَلَيْكَ مِنْهُ شَيْءٌ. فَجَلَسَ الرَّجُلُ حَتَّى إِذَا طَالَ مَجْلِسَهُ قَامَ، فَرَآهُ رَسُوْلُ للهِ مُوَالِيًا فَأَمَرَ بِهِ فَدُعِيَ، فَلَمَّا جَاءَ قَالَ: مَاذَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ؟ قال: مَعِيْ سُوْرَةُ كَذَا وَسُوْرَة كَذَا –عَدَّدَهَا- فَقاَلَ: تَقْرَؤُهُنَّ عَنْ ظَهْرِ قَلْبِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: اذْهَبْ، فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ
“Apakah engkau punya sesuatu untuk dijadikan mahar?”
“Tidak demi Allah, wahai Rasulullah,” jawabnya.
“Pergilah ke keluargamu, lihatlah mungkin engkau mendapatkan sesuatu,” pinta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Laki-laki itu pun pergi, tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu pun,” ujarnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Carilah walaupun hanya berupa cincin besi.”
Laki-laki itu pergi lagi kemudian tak berapa lama ia kembali, “Demi Allah, wahai Rasulullah! Saya tidak mendapatkan walaupun cincin dari besi, tapi ini sarung saya, setengahnya untuk wanita ini.”
“Apa yang dapat kau perbuat dengan izarmu? Jika engkau memakainya berarti wanita ini tidak mendapat sarung itu. Dan jika dia memakainya berarti kamu tidak memakai sarung itu.”
Laki-laki itu pun duduk hingga tatkala telah lama duduknya, ia bangkit. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatnya berbalik pergi, maka beliau memerintahkan seseorang untuk memanggil laki-laki tersebut.
Ketika ia telah ada di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bertanya, “Apa yang kau hafal dari Al-Qur`an?”
“Saya hafal surah ini dan surah itu,” jawabnya.
“Benar-benar engkau menghafalnya di dalam hatimu?” tegas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Iya,” jawabnya.
“Bila demikian, baiklah, sungguh aku telah menikahkan engkau dengan wanita ini dengan mahar berupa surah-surah Al-Qur`an yang engkau hafal,” kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (HR. Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 1425)
Lebih Baik Pengajaran Al Qur’an, Bukan Sekedar Setor Hafalan
Para ulama yang membolehkan mahar berupa hafalan Al Qur’an sepakat bahwa harus ditentukan surat apa dan ayat berapa yang akan dihafalkan sebagai mahar. Karena surat dan ayat itu berbeda-beda. Sedangkan untuk masalah qira’ah apa yang dipakai, para ulama berselisih pendapat.
Lebih baik mahar dengan hafalan Al Qur’an bukan sekedar dibacakan atau disetorkan. Namun bagusnya adalah diajarkan. Sebagaimana Imam Nawawi menyimpulkan hadits Sahl bin Sa’ad di atas dengan menyatakan bahwa mahar itu baiknya berupa pengajaran Al Qur’an. Beliau berkata,
وَفِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل لِجَوَازِ كَوْن الصَّدَاق تَعْلِيم الْقُرْآن
“Di dalam hadits terdapat dalil akan bolehnya mahar berupa pengajaran Al Qur’an.” (Syarh Shahih Muslim, 9: 192)
Sedangkan Komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia lebih cendurung memahami hadits Sahl bin Sa’ad untuk mahar berupa pengajaran Al Qur’an dibolehkan jika tidak didapati mahar berupa harta. Pengajaran Al Qur’an itu termasuk jasa yang diberikan sebagai mahar. Dalam Fatwa Al Lajnah Ad Daimah, komisi Fatwa Kerajaan Saudi Arabia disebutkan,
يَصِحُّ أَنْ يَجْعَلَ تَعْلِيْمَ المرْأَةِ شَيْئًا مِنَ القُرَآنِ مَهْرًا لَهَا عِنْدَ العَقْدِ عَلَيْهَا إِذَا لَمْ يَجِدْ مَالاً
“Boleh menjadikan pengajaran Al Qur’an pada wanita sebagai mahar ketika akad saat tidak didapati harta sebagai mahar.” (Fatawa Al Lajnah Ad Daimah no. 6029, 19: 35).
Hal yang sama diutarakan oleh Imam Bukhari, beliau membawakan judul Bab untuk hadits Sahl bin Sa’ad di atas,
تَزْوِيجِ الْمُعْسِرِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى ( إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ )
“Menikahkan orang yang sulit untuk menikah, berdasarkan firman Allah Ta’ala: “Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur: 32).”
Kesimpulan
Yang lebih baik, mahar berupa pengajaran Al Qur’an pada istri atau pengajaran hafalan Al Qur’an padanya, bukan sekedar menyetorkan hafalan. Namun itu dilakukan ketika jelas tidak punya harta sebagai mahar. Wallahu a’lam.
Semoga bermanfaat.
Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibnu Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.
Fathul Bari bi Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Dar Thiybah, cetakan keempat, tahun 1432 H.
Fatwa Al Islam Sual wal Jawab: http://islamqa.info/ar/205727
—
Selesai disusun di Darush Sholihin, Panggang, GK, 19 Jumadal Ula 1436 H
Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com
Ikuti status kami dengan memfollow FB Muhammad Abduh Tuasikal, Fans Page Mengenal Ajaran Islam Lebih Dekat, Twitter @RumayshoCom, Instagram RumayshoCom
Pembahasan di atas adalah umum, bukan maksud untuk menyinggung pernikahan puteri Aa Gym, namun kebetulan moment pembahasannya bertepatan.
2015-03-10 15:11 GMT+07:00 Disqus :