Teladan

Faedah Sirah Nabi: Hijrah ke Habasyah

 

Karena terlalu banyak tekanan dari orang kafir pada para sahabat nabi, akhirnya mereka hijrah ke negeri Habasyah.

Ibnu Ishak berkata, “Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang menimpa para sahabatnya dari siksaan, sementara beliau mendapat perlindungan yang cukup dari Allah, kemudian juga dari pamannya Abu Thalib, dan beliau merasa tidak mampu memberikan perlindungan kepada mereka. Pada saat itulah beliau berkata kepada mereka, ‘Seandainya kalian pergi ke negeri Habasyah karena negeri itu dipimpin oleh seorang raja yang tidak satu pun dari rakyatnya yang terzalimi dan bumi itu adalah bumi yang aman. Tinggallah kalian di sana hingga Allah memberikan jalan keluar kepada kalian dari apa yang menimpa kalian.”

Di situlah para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat menuju bumi Habasyah, menjauh dari fitnah dan mencari perlindungan dari Allah demi agama mereka. Itulah hijrah pertama dalam Islam. Lihat Ibnu Hisyam, As-Sirah An-Nabawiyah, 1:354.

Di antara yang berhijrah dari mereka adalah Ustman bin ‘Affan radhiyallahu ‘anhu bersama Ruqayyah putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Abdurrahman bin Auf, Abu Hudzaifah, Utbah bin Rabiah bersama istrinya Sahlah binti Suhail bin Amr, Az-Zubair bin Awwam, Mush’ab bin ‘Umair, Abu Salamah bin Abdul Asad dan istrinya Ummu Salamah binti Abu Umayyah bin Al-Mughirah, Utsman bin Mazh’un, Amir bin Rabi’ah dan istrinya Laila binti Abi Hatsmah radhiyallahu ‘anhum.

 

Pengertian Hijrah

 

Secara etimologi, hijrah adalah lawan dari kata washal (bersambung). Maksud hijrah di sini adalah berpisahnya seseorang entah berpisah dengan badan, dengan lisan, dengan hati.

Asal hijrah di sini bermakna meninggalkan, yaitu meninggalkan berbicara atau meninggalkan perbuatan. Tidak berbicara pada orang lain, itu bermakna hajr.

Sedangkan kalau membahas hijrah, ada dua maksud:

  1. Hijrah hissi, yaitu berpindah tempat, yaitu berpindah dari negeri kafir ke negeri Islam atau berpindah dari negeri yang banyak fitnah ke negeri yang tidak banyak fitnah. Ini adalah hijrah yang disyari’atkan.
  2. Hijrah maknawi(dengan hati), yaitu berpindah dari maksiat dan segala apa yang Allah larang menuju ketaatan.

 

Hijrah Harus Ikhlas

 

Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ ، وَإِنَّمَا لاِمْرِئٍ مَا نَوَى ، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا ، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, mkaa hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju.” (HR. Bukhari, no. 1 dan Muslim, no. 1907).

Ibnul ‘Aththar rahimahullah–yang dikenal dengan Imam Nawawi kecil–menjelaskan maksud penyebutan wanita tersebut setelah kalimat hijrah karena dunia ada dua makna:

1- Dilihat dari sebab disebutkannya hadits ini, yaitu ada seseorang yang berhijrah karena seorang wanita yang ingin dia nikahi. Wanita tersebut bernama Ummu Qois. Maka laki-laki yang berhijrah di sini disebut Muhajir Ummu Qois, yaitu orang yang berhijrah karena Ummu Qois.

2- Penyebutan wanita adalah sesuatu yang khusus dari dunia yang umum yang disebut lebih dulu. Ini menunjukkan peringatan keras bagi yang niatannya keliru hanya untuk kejar wanita saat berhijrah.

Perkataan di atas juga disebutkan oleh Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim, 13:54-55.

Jadi jangan salah niatan dalam beramal. Amalan yang baik seperti hijrah, janganlah diniatkan semata-mata untuk mengejar dunia dan terkhusus wanita. Amalan saleh bisa jadi terima jika niatannya ikhlas mengharap wajah Allah dan disebut baik jika sesuai dan diperintahkan oleh Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 

Hijrah Tetap Berlaku

 

Hijrah adalah berpindah dari negeri kesyirikan ke negeri Islam. Hijrah diwajibkan atas umat ini dari negeri kesyirikan menuju negeri Islam. Hal ini tetap berlaku hingga hari Kiamat.

Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ، قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ، قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا، فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (٩٧) إِلَّا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَالْوِلْدَانِ لَا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلَا يَهْتَدُونَ سَبِيلًا (٩٨) فَأُولَئِكَ عَسَى اللهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللهُ عَفُوًّا غَفُورًا

Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan Malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) Malaikat bertanya: ‘Bagaimana keadaan kalian dulu?’ Mereka menjawab: ‘Kami dulu adalah orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah).’ Para Malaikat berkata: ‘Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya di Neraka Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali, kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita atau pun anak-anak yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu, mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.” (QS. An-Nisaa’: 97-99)

Allah Ta’ala juga berfirman,

يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ

Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja.” (QS. Al-Ankabut: 56)

Dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ، وَلاَ تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا

Hijrah tidak akan terputus hingga taubat terputus dan taubat tidak akan terputus kecuali matahari terbit dari barat.” (HR. Abu Daud, no. 2479. Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ menyatakan bahwa hadits ini shahih)

 

Hukum Safar dan Tinggal di Negeri Kafir

 

Safar ke negeri kafir tidaklah dibolehkan kecuali jika memenuhi tiga syarat:

  1. Memiliki cukup ilmu yang bisa menjaga dirinya dari berbagai syubhat (kerancuan pemikiran).
  2. Memiliki agama yang kuat agar menjaga diri dari nafsu syahwat.
  3. Butuh untuk bersafar ke negeri kafir.

Bersafar ke negeri kafir dengan tujuan untuk berobat atau belajar dan tidak didapati di negeri muslim seperti itu, lalu yang ingin bersafar memiliki ilmu dan agama yang bagus, maka tidak mengapa bersafar ke negeri kafir.

Namun kalau tujuannya untuk sekadar rekreasi, maka itu bukan kebutuhan karena masih bisa dilakukan di negeri muslim.

Adapun tinggal di negeri kafir harus dengan dua syarat:

  1. Merasa aman dengan agamanya.
  2. Mampu menegakkan dan menghidupkan syiar agama di tempat tinggalnya tanpa ada penghalang.

Lihat Syarh Tsalatsah Al-Ushul, hlm. 131-133.

Semoga Allah beri hidayah pada kita semua.

 

Referensi:

  1. Fikih Sirah Nabawiyah. Dr.Zaid bin Abdul Karim Az-Zaid. Penerbit Darus Sunnah.
  2. Syarh Al-Arba’in An-Nawawiyyah. Cetakan kedua, Tahun 1433 H. Imam ‘Ali bin Daud Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’i. Penerbit Dar Al-Basyair.
  3. Syarh Tsalatsah AlUshul. Cetakan kedua, Tahun 1426 H. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Penerbit Dar Ats-Tsuraya.

Diselesaikan di Darush Sholihin Panggang Gunungkidul, Jumat pagi, 4 Muharram 1440 H

Oleh: Muhammad Abduh Tuasikal

Artikel Rumaysho.Com

 

Artikel yang Terkait

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button