Tidak Semua Perlu Ditanggapi: Bedakan antara Taghaful dan Tajahul
Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Ia suka berkumpul dan membangun hubungan. Dalam perjalanan hidup, kita dipertemukan dengan beragam jenis relasi—ada yang merupakan anugerah dari Allah dan menjadi sumber kebahagiaan, ada pula yang justru menjadi ujian, pelajaran, atau bahkan sumber luka dan gangguan. Semuanya bergantung pada karakter dan pola asuh masing-masing individu.
Allah menciptakan manusia dari air dan tanah. Ada yang lebih dominan sifat “air”-nya—lembut dan mengalir seperti sungai—dan ada pula yang lebih dominan sifat “tanah”-nya—keras seperti batu. Maka, dalam berhadapan dengan berbagai karakter ini, seseorang bisa jadi merasa bingung: bagaimana cara menyikapi orang seperti ini? Apalagi jika mereka adalah orang dekat, seperti keluarga. Di sinilah muncul kebutuhan akan sikap toleran yang cerdas, seperti tahammul (bersabar), taghaaful (berpura-pura tidak tahu), dan tajaahul (bersikap seolah tidak peduli).
Apa Bedanya Taghaaful dan Tajaahul?
Saat mencari tahu lebih dalam, ditemukan bahwa banyak orang menganggap taghaaful dan tajaahul itu sama. Namun, ternyata keduanya memiliki perbedaan halus namun penting:
Taghaaful adalah bentuk penghormatan dan kasih sayang: ketika seseorang seolah-olah tidak melihat kesalahan orang lain karena ingin menjaga hubungan baik.
Tajaahul, sebaliknya, adalah bentuk penolakan dan pengabaian: saat kita memilih untuk benar-benar tidak peduli pada orang yang bersangkutan.
Secara bahasa, taghaaful berarti “berpura-pura lalai atau sengaja melupakan kesalahan kecil”, sedangkan tajaahul berarti “bersikap seolah-olah tidak tahu padahal sebenarnya tahu”.
Keduanya merupakan seni berinteraksi. Bedanya, taghaaful menunjukkan bahwa kita peduli dan ingin tetap menjaga hubungan, sementara tajaahul menunjukkan bahwa kita sudah tidak mau repot lagi dan merasa cukup.
Dikatakan, taghaaful itu seperti menutup mata atas kesalahan kecil, tidak mengungkit-ungkit kekeliruan, dan tidak fokus pada sisi negatif orang lain. Ini adalah seni yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang telah mencapai kedewasaan emosional dan kecerdasan sosial. Orang Arab dahulu berkata:
لَيْسَ الغَبِيُّ بِسَيِّدٍ فِي قَوْمِهِ، وَلَكِنْ سَيِّدُ قَوْمِهِ المُتَغَابِي
“Bukanlah orang bodoh yang menjadi pemimpin kaumnya, tetapi pemimpin mereka adalah orang yang bersikap seolah-olah tidak tahu (atas kekeliruan kecil).”
Sementara itu, tajaahul sering disebut sebagai “balas dendam yang berkelas”, atau sedekah bagi orang-orang yang miskin adab.
Kapan Harus Taghaaful dan Kapan Tajaahul?
Keduanya memiliki tempat masing-masing dalam kehidupan sosial.
- Taghaaful biasa digunakan terhadap orang-orang yang kita cintai atau yang memiliki hubungan dekat dengan kita. Contohnya, saat seseorang dari keluarga kita melakukan kesalahan kecil, kita berpura-pura tidak tahu dan tidak menegur dengan keras.
- Sebaliknya, tajaahul digunakan dalam menghadapi orang asing atau mereka yang hanya hadir sejenak dalam hidup kita, seperti orang yang menyakiti atau menghina, tapi tidak layak diberi perhatian lebih.
Namun, tidak semua kondisi cocok untuk taghaaful. Kita perlu memahami kapan harus menggunakan sikap ini:
- Jika kesalahan itu jarang terjadi, maka abaikan saja. Karena hal yang jarang tidak berpengaruh besar.
- Jika kesalahan itu masih bisa ditoleransi dan tidak menyakiti secara signifikan.
- Jika kesalahan itu di luar kendali kita untuk mengubahnya.
Tetapi jika kesalahan itu berulang-ulang, tidak dapat ditoleransi, dan kita tahu dia bisa berubah, maka jangan buru-buru melakukan tajaahul. Ada satu tahap penting sebelum itu: berbicara langsung dan mengungkapkan ketidaknyamanan kita.
Dengan kata lain, taghaaful memberi ruang untuk memahami latar belakang tindakan seseorang. Mungkin mereka tidak bermaksud menyakiti, atau tidak tahu bahwa tindakan mereka mengganggu. Jika setelah diberi tahu mereka tidak berubah, maka tajaahul bisa menjadi pilihan terakhir—untuk menyelamatkan hubungan atau setidaknya menjaga kewarasan diri sendiri.
Jenis-Jenis Tajaahul yang Bermanfaat
Tajaahul sendiri terdiri dari beberapa bentuk:
1. Mengabaikan orang yang menyakiti — seolah-olah dia tidak ada, sampai akhirnya ia menyadari kesalahannya dan minta maaf. Ada ungkapan bijak: “Sedikit tajāhul bisa mengembalikan orang ke ukuran aslinya.”
2. Mengabaikan kenangan atau peristiwa yang menyakitkan — dengan membuka lembaran baru dalam hidup dan menjadikannya batu loncatan untuk masa depan yang lebih cerah.
3. Mengabaikan kata-kata buruk atau penghinaan — seperti yang dilakukan Rasulullah ﷺ ketika orang-orang Quraisy mencelanya dengan sebutan “Mudzammam” (yang tercela), beliau berkata:
أَلَا تَعْجَبُونَ كَيْفَ يَصْرِفُ اللَّهُ عَنِّي شَتْمَ قُرَيْشٍ وَسَبَّهُمْ، يَشْتِمُونَ مُذَمَّمًا وَيَلْعَنُونَ مُذَمَّمًا، وَأَنَا مُحَمَّدٌ!
“Tidakkah kalian heran bagaimana Allah memalingkan hinaan Quraisy dariku? Mereka mencela Mudzammam dan melaknat Mudzammam, padahal aku adalah Muhammad.” (HR. Bukhari)
4. Mengabaikan perilaku kasar atau tidak sopan, seperti dalam kisah Anas bin Malik radhiyallāhu ‘anhu:
“Aku berjalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu mengenakan baju tebal dari Yaman. Tiba-tiba datang seorang Arab Badui dan menarik baju itu dengan keras hingga meninggalkan bekas di pundak beliau. Orang itu berkata, ‘Hai Muhammad, berikan aku harta dari Allah yang ada padamu!’ Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menoleh, tersenyum, dan menyuruh agar diberi sesuatu.” (Muttafaqun ‘Alaih)
Tapi Tidak Semua Bisa Diabaikan!
Penting diingat: tidak semua kesalahan layak diabaikan. Jika menyangkut pelanggaran terhadap hak Allah atau penindasan terhadap orang lain, maka perlu tindakan langsung yang bijaksana. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا، فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ، فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ”
“Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim)
Jadi, biasakan diri untuk tajāhul yang cerdas. Tak semua hal layak untuk dijadikan bahan perdebatan.
Ayat Al-Qur’an yang Membicarakan tentang Taghaaful
Perintah Allah kepada Nabi-Nya untuk Bersikap Lapang Hati
Allah Ta‘ālā berfirman kepada Nabi-Nya,
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِينَ
“Jadilah pemaaf, perintahkan yang baik, dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil.” (QS. Al-A‘rāf: 199)
Makna firman-Nya “خُذِ الْعَفْوَ” adalah: ambillah bagian yang mudah dan ringan dari akhlak manusia. Maksudnya, terimalah permintaan maaf mereka, maafkan kekeliruan mereka, permudahlah urusan dengan mereka, jangan terlalu banyak menyelidik atau menggali hal-hal yang tersembunyi. Sikap seperti ini akan membuat hati lebih tenang dan hubungan sosial tetap harmonis.
Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh menjelaskan ayat ini sebagai berikut:
“Yaitu ambillah dari manusia apa yang mereka mampu berikan dengan mudah dari amal dan akhlak mereka. Jangan memaksakan sesuatu yang tidak sesuai dengan tabiat mereka. Syukurilah setiap kebaikan dan kata yang indah dari siapa pun, bahkan jika itu sederhana. Maafkan kekurangan mereka, tutuplah mata dari kesalahan mereka. Jangan merendahkan yang masih muda karena usianya, atau mencela yang kurang akal karena kelemahannya, atau menghina yang miskin karena keadaannya. Perlakukan semua orang dengan kelembutan dan perlakuan yang sesuai dengan situasinya hingga hati mereka pun lapang terhadapmu.”
Kesimpulan ayat ini menunjukkan kepada kita pentingnya bersikap toleran terhadap kekurangan orang lain, memaafkan kesalahan, dan menerapkan seni taghaaful (berpura-pura tidak tahu) terhadap kesalahan kecil yang tidak perlu dibesar-besarkan.
Contoh Taghaaful dalam Rumah Tangga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah juga berfirman dalam menggambarkan sikap Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada istri-istrinya,
فَلَمَّا نَبَّأَتْ بِهِ وَأَظْهَرَهُ اللَّهُ عَلَيْهِ عَرَّفَ بَعْضَهُ وَأَعْرَضَ عَنْ بَعْضٍ
“Ketika dia (istrinya) memberitahukannya, dan Allah memperlihatkan hal itu kepada Nabi, maka beliau memberitahukan sebagian dari perkara itu dan membiarkan sebagian yang lain.” (QS. At-Taḥrīm: 3)
Imam As-Sam‘ānī menjelaskan:
“Maksud dari firman-Nya ‘Beliau memberitahukan sebagian dan membiarkan sebagian’ adalah: Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan sebagian dari yang terjadi kepada istrinya, dan memilih untuk berpaling dari sebagian lainnya sebagai bentuk kemuliaan, kelapangan dada, dan pemaafan. Bersikap taghaaful terhadap banyak hal adalah akhlak orang-orang yang bijak dan mulia.”
Di sini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan teladan nyata bahwa tidak semua kesalahan harus dihadapi dengan konfrontasi. Kadang, justru dengan membiarkan sebagian hal berlalu dan tidak diungkit, hubungan bisa tetap hangat dan penuh penghormatan.
Larangan Buruk Sangka dan Mengorek Aib Orang Lain
Allah juga berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian prasangka adalah dosa. Dan jangan mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah menggunjing satu sama lain. Apakah ada di antara kalian yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kalian merasa jijik. Maka bertakwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Ḥujurāt: 12)
Syaikh As-Sa‘dī rahimahullāh menjelaskan:
“Janganlah kalian memata-matai atau menyelidiki aib kaum muslimin. Jangan kalian ikuti dan korek-korek urusan mereka. Biarkanlah seorang muslim dengan keadaannya, dan gunakanlah sikap taghaaful terhadap sisi kehidupannya yang—jika diselidiki—mungkin akan tampak hal-hal yang tidak pantas diketahui.”
Ayat ini menunjukkan bahwa salah satu bentuk akhlak mulia adalah tidak ikut campur atau menyibukkan diri dengan kesalahan dan kekurangan orang lain, terlebih lagi yang mereka sendiri tidak ingin orang lain mengetahuinya. Sikap taghaaful di sini adalah bentuk kasih sayang dan penjagaan terhadap kehormatan saudara sesama muslim.
Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang Membicarakan tentang Taghaaful
Pemimpin yang Curiga Terlalu Dalam Justru Merusak Masyarakat
Dari Abū Umāmah radhiyallāhu ‘anhu, ia berkata:
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «إِنَّ الْأَمِيرَ إِذَا ابْتَغَى الرِّيبَةَ فِي النَّاسِ أَفْسَدَهُمْ»
“Sesungguhnya seorang pemimpin, jika terlalu mencurigai manusia (selalu mencari kesalahan mereka), maka ia akan merusak mereka.” (HR. Abū Dāwud, sanad hasan)
Imam Al-Munāwī rahimahullāh menjelaskan maksud hadis ini:
“Inti dari hadis ini adalah anjuran kepada seorang pemimpin untuk bersikap taghaaful, tidak mudah menaruh curiga, dan tidak sibuk mencari-cari kesalahan orang. Karena dengan sikap seperti itu, tatanan masyarakat akan stabil dan kehidupan berjalan tertib.”
Maknanya: Pemimpin yang bijak bukan yang tahu segalanya tentang rakyatnya, tapi yang tahu kapan harus menutup mata dan membiarkan hal-hal kecil berlalu. Mencari-cari kesalahan hanya akan membuat masyarakat takut, tidak jujur, dan penuh kepalsuan.
Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam Menanggapi Penghinaan dengan Tenang
Dari ‘Urwah bin Az-Zubair rahimahullāh, ia meriwayatkan dari ‘Āisyah radhiyallāhu ‘anhā (istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam), bahwa ia berkata:
“Suatu ketika sekelompok orang Yahudi masuk menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka berkata: ‘As-sāmu ‘alaikum’ (kematian atasmu). Aku pun langsung memahami maksud mereka, maka aku membalas: ‘Wa ‘alaikum as-sāmu wal-la‘nah’ (dan atas kalian juga kematian dan laknat).’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Tenanglah, wahai ‘Āisyah! Sesungguhnya Allah mencintai kelembutan dalam segala hal.’ Aku pun berkata: ‘Wahai Rasulullah, bukankah engkau mendengar apa yang mereka katakan?’ Beliau menjawab: ‘Aku sudah menjawab: Wa ‘alaikum (dan atas kalian juga).'” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Kesimpulan yang diambil para ulama dari hadis ini adalah: Dianjurkan bagi orang yang mulia dan berhati lapang untuk bersikap taghaaful terhadap ucapan-ucapan buruk dari orang-orang rendahan, selama tidak menimbulkan kerusakan besar. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bereaksi berlebihan terhadap hinaan tersembunyi itu, melainkan cukup menjawab dengan tenang tanpa menurunkan martabat beliau.
Pelajaran: Taghaaful adalah tanda kekuatan batin. Kadang, merespons setiap ejekan justru menunjukkan kelemahan. Menahan diri dan membalas dengan elegan adalah ciri orang yang beradab dan cerdas.
Jangan Menertawakan Hal yang Tak Pantas—Lebih Baik Bersikap Seolah Tidak Mendengar
Dari ‘Abdullāh bin Zam‘ah radhiyallāhu ‘anhu, disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berkhutbah… dan dalam khutbah itu beliau menasihati orang-orang tentang kebiasaan mereka menertawakan suara kentut, lalu beliau bersabda:
“Mengapa salah seorang di antara kalian menertawakan sesuatu yang ia sendiri juga bisa melakukannya?” (HR. Bukhārī dan Muslim)
Imam An-Nawawī rahimahullāh memberi penjelasan penting:
“Hadis ini berisi larangan menertawakan suara kentut yang terdengar dari orang lain. Sebaliknya, seharusnya seseorang bersikap taghaaful terhadap hal itu—seolah tidak mendengar—dan tetap melanjutkan apa yang sedang ia lakukan tanpa menoleh atau bereaksi, serta menunjukkan seakan ia tidak mendengar apa pun.”
Maknanya: Dalam situasi sosial yang canggung atau memalukan, adab terbaik bukan ikut menertawakan atau mempermalukan orang lain, tapi bersikap seolah tidak tahu dan tetap tenang. Itu adalah bentuk kasih sayang dan kehalusan budi.
Perkataan Para Ulama tentang Taghaaful
1. Abu Bakr ash-Shiddīq radhiyallāhu ‘anhu berkata:
فَازَ بِالمُرُوءَةِ مَنِ امْتَطَى التَّغَافُلَ، وَهَانَ عَلَى القُرَنَاءِ مَنْ عُرِفَ بِاللَّجَاجِ
“Beruntunglah orang yang menjunjung kemuliaan diri dengan menunggangi sikap berpura-pura tidak tahu (taghaaful), dan rendahlah nilainya di mata rekan-rekannya orang yang dikenal suka membantah tanpa henti.”
Maknanya: Kemuliaan tidak diperoleh dengan mempermasalahkan semua hal, tapi dengan kelapangan jiwa dan kemampuan menahan diri.
2. Imam asy-Syāfi‘ī rahimahullāh berkata:
اللَّبِيبُ العَاقِلُ هُوَ الفَطِنُ المُتَغَافِلُ
“Orang yang bijak dan berakal adalah dia yang cerdik namun bersikap taghaaful.”
Maknanya: Kecerdikan dan toleransi adalah pasangan terbaik untuk membangun akhlak yang luhur.
3. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullāh berkata:
العَافِيَةُ عَشَرَةُ أَجْزَاءٍ كُلُّهَا فِي التَّغَافُلِ
“Kesejahteraan itu ada sepuluh bagian, semuanya terletak dalam taghaaful.”
Maknanya: Jika ingin hidup tenang, maka bersikaplah toleran dan tidak mempermasalahkan hal-hal kecil yang mengganggu.
4. Sufyān Ats-Tsauri rahimahullāh berkata:
مَا زَالَ التَّغَافُلُ مِنْ فِعْلِ الكِرَامِ
“Taghaaful selalu menjadi kebiasaan orang-orang mulia.”
Maknanya: Sikap ini bukan kelemahan, melainkan bagian dari akhlak orang terhormat.
5. Ibnu al-Muqaffa‘ rahimahullāh berkata:
مَا رَأَيْتُ حَكِيمًا إِلَّا وَتَغَافُلُهُ أَكْثَرُ مِنْ فِطْنَتِهِ
“Aku tidak pernah melihat orang bijak kecuali sikap taghaaful-nya lebih banyak daripada kecerdikannya.”
Maknanya: Orang bijak tahu bahwa tidak semua hal harus dikomentari atau dibalas. Menahan diri adalah bentuk tertinggi dari hikmah.
Pada akhirnya, kita dihadapkan pada dua pilihan: bereaksi dengan emosi—marah, stres, dan tersakiti, atau bersikap tenang—mengabaikan, tersenyum, dan melanjutkan hidup.
Referensi:
____
Perjalanan Panggang – Sekar Kedhaton Kotagede, 7 Muharram 1447 H, 2 Juli 2025
Penulis: Dr. Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Rumaysho.Com