Masjid yang Paling Utama untuk Beri’tikaf
I’tikaf secara bahasa berarti menetap pada sesuatu. Sedangkan secara syar’i, i’tikaf berarti menetap di masjid dengan tata cara yang khusus disertai dengan niat.[1] Inilah kebiasaan yang biasa dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di akhir-akhir Ramadhan. Sebagaimana disebutkan oleh Abu Hurairah, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama sepuluh hari. Namun pada tahun wafatnya, Beliau beri’tikaf selama dua puluh hari”. (HR. Bukhari no. 2044)
Namun manakah masjid yang paling utama untuk beri’tikaf?
Pertama: Masjid yang paling utama adalah Masjidil Haram, Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsho
Ketiga masjid tersebut adalah seutama-utamanya masjid sehingga seseorang boleh bersengaja melakukan perjalanan ke sana demi mengeyengajakan ibadah. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُشَدُّ الرِّحَالُ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ، وَمَسْجِدِ الرَّسُولِ – صلى الله عليه وسلم – وَمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah sengaja melakukan perjalanan (dalam rangka ibadah) selain pada tiga masjid: Masjidil Haram, Masjid Rasul -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan Masjidil Aqsho.” (Muttafaqun ‘alaih).
Yang paling utama adalah Masjidil Haram, kemudian Masjid Nabawi, lalu Masjidil Aqsho. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى هَذَا خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ
“Shalat di masjidku ini lebih utama darii 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةٌ فِى مَسْجِدِى أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ إِلاَّ الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ وَصَلاَةٌ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَفْضَلُ مِنْ مِائَةِ أَلْفِ صَلاَةٍ فِيمَا سِوَاهُ
“Shalat di masjidku lebih utama dari 1000 shalat di masjid lainnya selain Masjidil Haram. Shalat di Masjidil Haram lebih utama dari 100.000 shalat di masjid lainnya.” (HR. Ibnu Majah dan Ahmad, shahih).
Kedua: Setelah tiga masjid tadi adalah masjid Jaami’, lalu masjid besar yang banyak jama’ahnya. Demikian pendapat ulama Hanafiyah. Sedangkan ulama Syafi’iyah dan Hambali menyatakan bahwasanya yang afdhol adalah i’tikaf di masjid Jaami’ yang dilaksanakan shalat Jum’at.[2]
Alasan I’tikaf Boleh Dilakukan di Masjid Mana Saja
Menurut mayoritas ulama, i’tikaf disyari’atkan di semua masjid karena keumuman firman Allah,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”. [3]
Imam Bukhari membawakan Bab dalam kitab Shahihnya, “I’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramdhan dan i’tikaf di seluruh masjid.” Ibnu Hajar menyatakan, “Ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 187) menyebutkan disyaratkannya masjid, tanpa dikhususkan masjid tertentu”[4].[5]
Para ulama selanjutnya berselisih pendapat masjid apakah yang dimaksudkan. Apakah masjid biasa di mana dijalankan shalat jama’ah lima waktu[6] ataukah masjid jaami’ yang diadakan juga shalat jum’at di sana?
Imam Malik mengatakan bahwa i’tikaf boleh dilakukan di masjid mana saja (asal ditegakkan shalat lima waktu di sana, pen) karena keumuman firman Allah Ta’ala,
وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“sedang kamu beri’tikaf dalam masjid”(QS. Al Baqarah: 187). Ini juga menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i. Namun Imam Asy Syafi’i rahimahullah menambahkan syarat, yaitu masjid tersebut diadakan juga shalat Jum’at.[7] Tujuannya di sini adalah agar ketika pelaksanaan shalat Jum’at, orang yang beri’tikaf tidak perlu keluar dari masjid.
Kenapa disyaratkan di masjid yang ditegakkan shalat jama’ah? Ibnu Qudamah katakan, “Shalat jama’ah itu wajib (bagi laki-laki). Jika seorang laki-laki yang hendak melaksanakan i’tikaf tidak berdiam di masjid yang tidak ditegakkan shalat jama’ah, maka bisa terjadi dua dampak negatif: (1) meninggalkan shalat jama’ah yang hukumnya wajib, dan (2) terus menerus keluar dari tempat i’tikaf padahal seperti ini bisa saja dihindari. Jika semacam ini yang terjadi, maka ini sama saja tidak i’tikaf. Padahal maksud i’tikaf adalah untuk menetap dalam rangka melaksanakan ibadah pada Allah.”[8]
Wallahu waliyyut taufiq.
@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-GK, 17 Ramadhan 1433 H
[1] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 5: 206.
[2] Lihat bahasan Ahkamul I’tikaf, Prof. Dr. Kholid bin ‘Ali Al Musyaiqih, terbitan Maktabah Ar Rusyd.
[3] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 151.
[4] Fathul Bari, 4: 271.
[5] Adapun hadits marfu’ dari Hudzaifah yang mengatakan, ”Tidak ada i’tikaf kecuali pada tiga masjid yaitu masjidil harom, masjid nabawi dan masjidil aqsho”; perlu diketahui, hadits ini masih diperselisihkan statusnya, apakah marfu’ (sabda Nabi) atau mauquf (perkataan sahabat). (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2: 151). Jika melihat perkataan Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah beliau lebih memilih bahwa hadits tersebut hanyalah perkataan Hudzaifah ibnul Yaman. Lihat Fathul Bari, 4: 272.
[6] Walaupun namanya beraneka ragam di tempat kita, baik dengan sebutan masjid, musholla, langgar, maka itu dinamakan masjid menurut istilah para ulama selama diadakan shalat jama’ah lima waktu di sana untuk kaum muslimin. Ini berarti jika itu musholla rumahan yang bukan tempat ditegakkan shalat lima waktu bagi kaum muslimin lainnya, maka ini tidak masuk dalam istilah masjid. Sedangkan dinamakan masjid Jaami’ jika ditegakkan shalat Jum’at di sana. Lihat penjelasan tentang masjid di Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah.
[7] Lihat Al Mughni, 4: 462.
[8] Al Mugni, 4: 461.