5 Sebab Makanan Diharamkan (3)
Berikut adalah bahasan terakhir mengenai sebab-sebab makanan diharamkan. Moga bermanfaat.
Sebab keempat: Dianggap jijik bagi orang yang memiliki tabiat yang selamat.
Ulama Syafi’iyah mencontohkan seperti menelan ludah, menelan keringat dan menelan mani. Contoh-contoh yang disebutkan tadi asalnya sesuatu yang suci yang berasal dari manusia. Namun diharamkan menelan (memakannya) karena dianggap menjijikkan. Namun ulama Syafi’iyah mengecualikan sesuatu yang dinilai menjijikkan tadi jika tujuannya adalah untuk mencuci tangan, maka pada saat ini tidaklah haram.
Ulama Hambali mencontohkan sesuatu yang dianggap jijik dan terlarang untuk dikonsumsi, seperti kotoran manusia atau hewan, kencing, dan kutu. Namun patut dipahami di sini bahwa ulama Hambali berpendapat bahwa kotoran hewan yang hewan tersebut halal kita makan dagingnya, kotoran tersebut tetap suci, begitu pula kencingnya. Yang dinyatakan haram adalah mengonsumsi kotoran atau kencing tersebut karena itu adalah suatu hal yang menjijikkan.
Jadi kaedah yang patut dipahami, sesuatu yang kotor belum tentu tidak suci dan tidak semua yang suci boleh dikonsumsi.
Sebab kelima: Tidak diizinkan oleh syari’at karena menjadi milik orang lain.
Contohnya adalah makanan yang bukan menjadi milik orang yang memakannya, tidak pula makanan tersebut diizinkan untuk dimakan oleh pemilik atau pun oleh syari’at. Contohnya adalah sesuatu yang dicuri, diambil dengan cara berjudi dan lainnya.
Hal ini berbeda halnya jika yang dimakan tersebut telah diizinkan oleh syari’at seperti orang yang dalam keadaan terpaksa memakan harta orang lain.
Jika seorang muslim mencuri kambing, lalu ia menyembelih dengan memenuhi syarat-syaratnya, bagaimana status kambingnya?
Jawabnya, kambingnya suci dan halal dimakan. Hanya saja orang yang menyembelih yang sengaja memakannya, berarti makan tanpa ada izin dari pemiliknya dan ini pun tidak diizinkan secara syar’i. Begitu pula orang lain yang mengetahui hewan hasil curian ini tidak boleh memakannya karena ini adalah harta orang lain yang diambil tanpa izinnya.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.
Reference: Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 5/126-127, terbitan Wizarotul Awqof wa Syu-un Al Islamiyah-Kuwait, cet kedua, 1404 H
Riyadh-KSA, 5 Safar 1432 H (09/01/2011)
Muhammad Abduh Tuasikal